(foto; google)
Sejak mampu berpikir dan mampu membedakan antara yang
baik dan yang buruk, anak perlu diberi pengetahuan tentang seks yang sesuai
dengan usianya dan diajari hukum-hukum fikih, terutama etika-etika pendidikan
seks yang dibutuhkannya. Seperti dilatih bagaimana cara istinja’,
bagaimana cara menyucikan pakaian dari najis, dan mencuci noda darah pada badan
atau pakaiannya ketika akan salat atau melakukan kegiatan lainnya.
Di bawah ini akan penulis terangkan lima pilar edukasi yang perlu diterapkan dalam mendidik anak yang berhubungan dengan
seksualnya.
1.
Meminta Izin (Isti’dzan)
Syariat Islam menekankan etika
meminta izin sejak usia kanak-kanak. Dalam hal ini Islam menunjukan dua fase
dalam aplikasinya sebagai pengamalan prinsip gradual dalam pendidikan
seks bagi anak. Fase pertama, Islam menoleransi anak yang belum balig, terutama
yang mumayiz, memasuki kamar orang
lain, termasuk kamar kedua orang tuanya, kecuali pada tiga waktu, yaitu sebelum
salat subuh, ketika melepas lelah pada siang hari dan setelah salat isya.
Etika ini merupakan hubungan
alamiah di antara orang tua dan anak mereka yang belum balig. Namun, keadaan
itu berubah dengan masuknya anak ke dalam usia balig, taklif syariat,
dan keharusan melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Ketika
itu, fase isti’dzan memasuki fase
yang lain, bahwa orang yang sudah balig tidak boleh memasuki kamar orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu pada setiap
waktu.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang tertera di
dalam surah An-Nûr ayat 59, yang berbunyi: “dan
apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta
izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. An-Nûr: 59).
2.
Menahan Pandangan dan Menutup Aurat
Masalah ini meliputi beberapa hal penting, yaitu
menutup aurat bagi kedua orang tua dari anak mereka, khususnya ibu, jenis
pakaian, serta pengaruhnya terhadap perkembangan psikologis anak. Berkaitan
dengan masalah pertama, dapat dikatakan bahwa anak yang sudah mencapai usia balig
dan mukalaf wajib menutup aurat dari pandangan anak yang mumayiz, sebagaimana
ia juga diharamkan untuk memandang aurat anak yang mumayiz atau menyentuhnya
dengan dorongan syahwat.
Bagi orang tua, ketika anak
sudah mumayiz, sebaiknya menggunakan pakaian yang menutup aurat ketika berada
di rumah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi masa perkembangan anak yang
sedang pubertas. Sikap seperti ini juga seharusnya diterapkan kepada saudara
laki-laki atau perempuan. Sebab, ketika mereka sudah mengerti apa itu seks,
maka sedari dini kita harus menjauhkan mereka dari aktivitas-aktivitas yang
dapat memacing libido seperti pakaian yang tidak menutup aurat, bacaan atau
tontonan yang mengandung unsur pornografi dan lain sebagainya.
Orang tua mesti menjelaskan
kepada anak kenapa harus menjaga pandangan dan menutup aurat. Agar mereka tidak
hanya patuh pada larangan Allah, tetapi juga paham kenapa hal itu dilarang.
Terlebih, ketika mereka berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah.
Menjaga pandangan berbeda
halnya dengan tidak boleh memandang. Sebab, jika digunakan kata “tidak boleh”
maka akan sulit sekali berinteraksi dengan orang lain. Terlebih masa-masa
sekolah adalah di mana mereka berinteraksi dengan teman-temannya. Sedang yang
dimaksud dengan menjaga adalah tidak boleh memandang dengan syahwat.
3.
Menjauhkan Anak dari Aktivitas Seksual
Orang tua mesti menjauhkan anak dari melihat aktivitas
seksual di antara suami – istri karena bahayanya yang besar terhadap perkembangan
seksualnya. Oleh karena itu, aktivitas seksual di antara orang tua hendaklah dilakukan
di dalam tempat yang rahasia dan tersembunyi. Orang tua mesti selalu mengontrol perkembangan
kondisi seks si anak. Karena dikhawatirkan terjadi penyimpangan seks yang
dilakukannya, terlebih ketika anak memiliki tempat privasi sendiri seperti
kamar tidur dan ruang belajar. Seorang anak bisa saja memutar film porno di
dalam kamarnya, bisa melalui DVD player, komputer atau malah alat
komunikasi seperti gadget.
Pada bagian ini, peran penting orang tua harus selalu
mengawasi perkembangan si anak setiap saat. Baik itu cara pergaulan dengan
teman-temannya, maupun bahan bacaan yang ada di kamarnya. Karena mengingat
permasalahan seks ini adalah masalah yang tersembunyi, jarang sekali seorang
anak mau berbagi kisah (curhat) seputar permasalahan seks kepada orang tuanya.
Apalagi sekarang zaman sudah canggih, dengan gampang seorang anak bertanya pada
internet. Pada bagian ini pula orang tua mesti mengawasi penggunaan internet pada
anak, karena internet itu sendiri bagai pisau bermata dua.
Satu sisi dapat memberikan manfaat, di sisi lain dapat memberikan mudarat.
4.
Pemisahan Tempat Tidur Anak
Melalui pemisahan ini, anak-anak jauh dari kamar kedua
orang tua dan diasingkan dari tempat yang di dalamnya dilakukan aktivitas
seksual. Selain itu, pemisahan anak laki-laki dari anak perempuan, dimana
masing-masing jenis memiliki kamar tersendiri, menghindarkan anak-anak dari
sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.
Berbagai macam fakta menyebutkan bahwa, tindakan
penyimpangan seks terkadang tidak hanya dilakukan karena adanya niat dari para
pelaku, tetapi karena adanya kesempatan pada waktu yang pas, sehingga
terjadilah penyimpangan seks tersebut. Sehingga tak heran lagi, jika kondisi
remaja kita saat ini terutama dalam penyimpangan seks, mendapat sorotan di ranah publik.
Penulis sendiri pernah membaca surat kabar yang
menerangkan bahwa pada tahun 2010 Sumatra Utara berhasil mengalahkan
JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi) dalam hal seks
bebas. Angka itu berkisar antara 60-61%. Bahkan beberapa orang di antaranya
melakukan aborsi, karena hamil di luar nikah.
Miris memang melihat keadaan
seperti ini, namun sebagai orang tua tentu kita ingin yang terbaik bagi
anak-anak kita. Mereka menjadi anak-anak yang saleh serta dapat membanggakan
kedua orang tua. Maka mari kita bekerja keras membentengi mereka dengan baik
agar tidak terjerumus ke arah yang salah.
5.
Mengamati Kematangan Seksual Dini
Kematangan seksual secara dini
yang terjadi pada anak laki-laki dan anak perempuan sebelum mencapai usia balig
menurut ukuran normal bisa saja terjadi. Pengawasan itu artinya pemahaman
terhadap kasus kematangan seksual dini dan faktor-faktor yang menyebabkannya
serta mengenali perubahan-perubahan yang menyertainya. Ini semua menuntut
pendidik agar segera melakukan persiapan seksual bagi anak laki-laki dan anak
perempuan mumayiz untuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin muncul
akibat terjadinya kematangan seksual secara dini.
Di sinilah peran penting orang
tua dalam mengajarkan pendidikan seks kepada anak dengan membekalinya pengetahuan agama yang memadai, serta megajarkan
kepadanya tentang akibat yang ditimbulkan seks bebas terhadap dirinya sendiri. Terlebih sekarang ini begitu banyak alat-alat yang
dapat memantau aktivitas si anak di dalam ruang privasinya seperti CCTV, misalnya.
Islam
mengakui bahwa naluri untuk berhubungan antara lawan jenis merupakan watak
dasar manusia. Tetapi Islam memberikan aturan dan rambu-rambu agar pemahaman
dan keinginan itu tidak dipahami dan disalurkan secara negatif dan serampangan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam seksualitas, mayoritas masyarakat
kita memandangnya bukanlah prioritas penting dalam memberi suatu pembelajaran.
Bahkan tidak sedikit yang menganggap seks itu negatif, kotor, jorok, dan
hal-hal yang berkonotasi buruk, hal ini disebabkan karena adanya “miss-information”
terhadap seks.
Imam
Al-Ghazali pernah mengungkapkan sebuah kalimat hikmah di dalam kitabnya Ihya’
Ulumiddin, “... Ketahuilah, sesungguhnya metode pendidikan anak
merupakan sesuatu yang paling penting dan wajib. Anak adalah amanah bagi orang
tuanya. Hatinya yang suci merupakan permata yang paling berharga. Bila
dibiasakan dan diajarkan kebaikan, maka ia akan tumbuh di atasnya, dan akan
berbahagia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya bila dibiasakan dengan kejelekan
dan dibiarkan seperti binatang maka ia akan sengsara dan binasa.”
Komentar