BEBERAPA KESALAHAN YANG SERING TERJADI KETIKA MENDIDIK ANAK




(foto; google)

            Menjadi orang tua adalah kebahagiaan yang sangat dinantikan oleh pasangan suami istri. Ketika istri mengandung sembilan bulan lamanya tentunya sebagai orang tua akan memberikan perhatian penuh kepada calon bayi. Bahkan terkadang lebih mementingkan kesehatan si bayi dari pada kesehatan mereka sendiri.
            Menjadi orang tua tentulah dambaan setiap orang, bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa anak adalah kunci kesuksesan suami istri. Entah dari mana sumber ungkapan tersebut, namun menjadi orang tua merupakan sebuah kebahagiaan. Akan tetapi semua itu tidak berhenti di situ saja, akan banyak tantangan dan hambatan yang kita hadapi untuk menjadikan anak tersebut menjadi seorang yang dewasa yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
            Sering kali orang tua mendidik anak dengan cara yang keliru. Hal ini bisa saja terjadi karena belum berpengalaman atau tidak pernah mempelajari ilmu bagaimana menjadi orang tua yang baik. Alhasil yang terjadi adalah orang tua berpikiran bahwa apa yang baik menurut mereka adalah baik untuk anak tersebut.
            Sejalan dengan itu semua, penulis ingin memaparkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik buah hati yang mereka sayangi.

1.      Memukul dan Berteriak
Sering kali sebagai orang tua terlanjur emosi terhadap anak dan melampiaskan kemarahan dengan menghukum mereka dengan kasar seperti memukul dan membentak. Hal itu sering terjadi dikarenakan emosi yang terlalu tinggi yang tidak bisa ditahan dan dilampiaskan kepada anak. Hal ini terjadi berulang kali sehingga orang tua menganggap bahwa menghukum mereka dengan cara demikian adalah suatu senjata untuk meredam kenakalan anak.
Marah dan memukul akan menghentikan perilaku “anak” ketika di hadapan orang tua, namun tidak menghentikan perilaku itu sama sekali. Artinya, ketika di hadapan orang tua, si anak tidak akan melakukan hal yang tidak disukai oleh orang tuanya, namun ketika anak tersebut tidak berada di hadapan orang tuanya, maka si anak akan menumpahkan segala perilaku buruknya kepada hal-hal lain seperti menggangu teman-temannya, berbuat yang tidak baik dan lain sebagainya. Di sinilah kita bisa melihat bahwa hukuman yang salah seperti memukul dan membentak bukan untuk menghentikan perilaku anak, melainkan menyembunyikan perilaku buruknya.
Memukul anak juga menjadi salah satu contoh kekerasan yang mereka dapatkan dari orang tua, secara tidak sadar perlahan tapi pasti sikap ini dapat menjadi acuan bagi anak-anak untuk memukul adik-adiknya atau bahkan orang lain. Yang menjadi polemik dalam permasalahan ini adalah ketika orang tua menjadi objek percontohan anak yang notabenenya orang tua meski bersikap baik jika mengingingkan anak yang baik. Bagaimana mungkin kita bisa melarang anak untuk memukul adik-adiknya sedangkan kita sendiri sebagai orang tua sering memukul mereka ketika melakukan kesalahan.

2.      Kedisiplinan yang Salah
Mengajarkan anak untuk sebuah kedisiplinan sebenarnya sangat rumit. Hal itu dikarenakan sebagai orang tua yang menjadi “objek contoh” dituntut maksimal dalam membuat dan menjalankan peraturan. Contohnya kedisiplinan makan tidak berdiri, menyiram toilet atau membersihkan tempat tidur. Kita sering kali mengajarkan anak untuk melakukan kedisiplinan untuk perilaku kehidupan mereka sehari-hari, namun sangat disayangkan kita sendiri jarang atau bahkan tidak melakukan hal itu.
Sebagai contoh, orang tua yang menyuruh anaknya untuk menggosok gigi setiap ingin tidur, namun sebagai orang tua kita sering lupa untuk melakukan hal itu. Hal-hal semacam ini akan menjadi acuan bagi anak dan menjadi kebiasaan yang mereka dapatkan dari orang tua. Bahkan yang lebih ironisnya lagi adalah ketika mereka mengatakan “papa saja jarang gosok gigi”. Hal ini akan membangun ketidakpercayaan anak terhadap orang tuanya.
Orang tua menganggap jika mereka berbuat kasar dan tegas terhadap anak adalah perbuatan disiplin yang benar. Padahal, disiplin didefinisikan sebagai proses belajar-mengajar yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri. Perilaku orang tua harus berubah sebelum mereka dapat mengubah perilaku anak, dan orang tua harus menjadi “orang tua yang disiplin” sebelum anak-anak mereka menjadi disiplin. Kata kunci yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah proses belajar-mengajar yang mengerah kepada ketertiban dan pengendalian diri.
Seperti halnya di sekolah, anak harus belajar dari setiap hal yang belum diketahuinya. Orang tua di sini berperan penting dalam megajar mereka, dan sasarannya adalah anak. Sebagai seorang pengajar kita mesti menyesuaikan diri dengan kapasitas kemampuan anak, tidak hanya sekehendak hati pengajar itu sendiri. Jika dipaksakan akan terjadi misunderstanding, orang tua menginginkan A sedangkan anak memahami B. Sehingga hal itu akan jauh menyimpang dan kembali lagi kesalahan akan dibebankan kepada anak karena mereka tidak mengerti apa yang kita sampaikan.
            Sebagai seorang pengajar, biarkan mereka menikmati proses belajarnya, jika mereka salah kita arahkan ke jalan yang benar, jika mereka jatuh kita bantu untuk berdiri. Dari sinilah akan terciptanya sebuah hubungan baik antara pengajar dan yang diajar sehingga mereka bisa menjadi disiplin. Karena proses belajar mengajar untuk kedisiplinan ini mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri mereka.
            Ketika mereka disiplin, otomatis kehidupan mereka akan tertib dan bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Jika hal ini dilakukan dengan baik dan berkesinambungan, maka akan tumbuh sikap kemandirian dalam diri mereka.

3.      Menggunakan Kata “Tidak” dan “Jangan” untuk Melarang Anak
“Tidak” dan “jangan” merupakan kata-kata yang sering kali didengar oleh anak. Karena orang tua acap kali menggunakan kata-kata ini untuk melarang anak melakukan sesuatu yang kurang baik atau tidak disukai oleh orang tuanya. Kenyataan yang sering kita temui di lapangan adalah ketika kita melarang anak dengan dua kata tersebut, yang terjadi malah sebaliknya, mereka melakukan hal-hal itu. Bahkan kata “tidak” menjadi kamus penting bagi mereka ketika kita mengajukan sesuatu yang menginginkan pertanyaan ya atau tidak. Hal ini terjadi karena kata “tidak” dan “jangan” menjadi kata kunci bagi mereka sebagai suruhan untuk melakukan hal itu. Karena selalu ada reaksi yang terjadi ketika anak melakukan hal-hal yang dilarang oleh orang tuanya. Apalagi ketika mereka melakukan hal yang kita larang dan kita tertawa setelah ia melakukannya. Hal ini akan menjadikan perhatian anak untuk terus memancing reaksi orang tua dan melakukan hal yang sama secara berulang.
            Cara efektif untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengurangi kata “tidak” dan “jangan”, karena kata ini dianggap sebagai kata negatif bagi anak. Katakan kepada mereka pokok permasalahannya. Misalkan kita menginginkan mereka untuk tidak makan berdiri, hindari menggunakan kata “jangan makan berdiri”, tapi langsung kepada hal yang kita inginkan seperti “duduk” atau “nak, kalau makan harus duduk”. Coba bandingkan dua kalimat tadi, kalimat pertama bermakna negatif dan kalimat kedua bermakna positif. Sehingga anak bisa langsung merespon bahwa jika makan harus duduk. Sedangkan menurut mereka “jangan makan berdiri” berarti “makanlah sambil berdiri”.
            Jangan pernah lelah mendidik anak, sebab kelak mereka adalah penerus dari keturunan kita. Anak yang baik merupakan cerminan dari orang tua yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti belajar untuk mengenali dan memahami mereka.

Komentar