(poskotanews.com)
A. Pendahuluan
Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh
banyak orang sekarang ini, berasal
dari bahasa Inggris corruption. Kata corruption tersebut berasal
dari kata dalam bahasa Latin “corruptus” yang berarti “merusak
habis-habisan.” Kata “corruptus”
itu sendiri berasal dari kata dasar corrumpere, yang tersusun dari kata com
(yang berarti “menyeluruh‟) dan “rumpere” yang berarti merusak secara
total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu.( Jhon M Echol
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, h.
149)
Istilah
korupsi sebenarnya nama keren dari mencuri, sedangkan koruptor sebagai
pencurinya. Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan
sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Sedangkan korup berarti
suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai
kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi).
Korupsi
dalam tata perundang-undangan kita, sesungguhnya telah jelas hukum dan sanksi bagi pelakunya. Namun demikian, korupsi
telah mengalami kulturalisasi dan sistematisasi sehingga pelanggaran serta sanksi terhadapnyapun menjadi demikian lemah,
rentan dan akhirnya tak berdaya. Ketidakberdayaan negara tersebut berimbas pula
terhadap agama secara teologis, kultural dan institusional.
Bahkan yang lebih parah lagi Departemen
Agama di negeri kita ini disinyalir sebagai lembaga paling terkorup. Maka
lengkaplah ketidakberdayaan itu.
Akibatnya
yang terjadi, kalaupun agama masih banyak dipeluk dan diugemi oleh
masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam, namun aplikasi dan
implikasinya ia menjadi ompong dan tak berdaya. Akhirnya agamapun hanya dipakai
sebagai sebuah simbol dan alat untuk berpolitik.
Oleh
karena itu, kita tidak usah heran mengapa korupsi dituding sebagai penyebab
utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan korup yang dilakukan oleh
segelintir orang, maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya.
Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan itu pun
terjadi di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang, baik itu pejabat pusat
maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa pun bisa melakukan
korupsi.
Hal ini
bisa terjadi barangkali karena dahulunya orang menganggap bahwa yang bisa
korupsi hanya orang-orang yang orde baru. Sehingga mumpung sekarang orde baru
sudah runtuh, semua orang berlomba-lomba untuk meniru perilaku korup yang
dilakukan orang-orang orde baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali
seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa
kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada
disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara si penguasa
dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus korupsi.
Jadi, ada semacam perpindahan kekerasan dari negara ke masyarakat.
Perilaku
korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya berpindah,
dilakukan oleh masyarakat biasa. Hal yang lebih berbahaya lagi, korupsi tidak
hanya dilakukan oleh perindividu, melainkan dilakukan secara bersama-sama tanpa
rasa malu. Maka akan terjadi bahaya besar di seluruh lapisan masyarakat dan
sistem kemasyarakatan.
B. Hukuman Bagi Para Koruptor
1. Sariqoh (Mencuri)
Istilah
khusus korupsi memang tidak didapati di dalam Alquran dan Hadis. Namun hal ini
bisa disamakan dengan mencuri, menyuap, penipuan dan sebagainya. Jika kita
meninjau dari mencuri maka kita dapat melihat seruan Allah subhanahu wa taala
di dalam surah Al-Ma`idah yang berbunyi “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S. Al-ma`idah: 38).
Dalam
beberapa hadis, Rasulullah pernah mengatakan bahwa “Allah melaknat pencuri
yang mencuri sebutir telur, maka tangannya dipotong dan mencuri tali lalu
tangannya dipotong” Bahkan, dengan tegasnya Rasulullah mengatakan “Apabila
Fatimah putriku mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.
(H.R. Bukhari).
Sungguh
sangat dahsyat sebenarnya hukuman terhadap pencuri, tapi kita melihat perilaku
yang terjadi di negeri kita ini, seorang koruptor terlihat santai dan tidak ada
masalah dengan hukum. Sedangkan rakyat jelata yang hanya karena mencuri sandal,
harus meringkuk beberapa tahun di penjara. Nampaknya, hukum hanya berlaku
terhadap rakyat jelata. Anehnya negeri ini.
2. Risywah (Suap)
Korupsi
juga bisa ditinjau dari perilaku suap-menyuap. Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi
menerangkan di dalam kitabnya “Halal Haram Dalam Islam”, bahwa di antara
cara memakan harta orang lain dengan jalan batil adalah mengambil uang suap.
Yaitu, uang yang dibayarkan kepada penguasa atau pejabat pada umumnya, agar
mereka menelurkan kebijakan bagi diri atau pesaingnya, sesuai dengan
keinginannya, atau untuk melicinkan urusannya dan menghambat urusan pesaingnya,
atau yang sejenis itu.
Islam
mengharamkan seorang muslim menempuh jalan suap kepada para pejabat dan
staf-stafnya, sebagaimana mereka juga diharamkan menerima suap itu jika ada yang memberinya. Di samping itu, pihak ketiga yang
menjadi mediator antara pemberi dan penerima suap, juga sama kedudukan
hukumnya. (Yusuf Qardhawi “Halal Haram Dalam Islam” hal : 462-463).
Allah subhanahu wa taala
berfirman: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.
(Q.S. Al-Baqarah : 188).
Tidaklah
mengherankan jika Islam mengharamkan suap dan bersikap sangat keras terhadap
semua pihak yang terlibat di dalam praktik itu. Karena tersebarnya praktik suap
di tengah-tengah masyarakat berarti merajalelanya kerusakan dan kezaliman,
berupa hukum tanpa asas kebenaran atau keengganan berhukum dengan kebenaran;
mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan yang seharusnya
didahulukan; juga merajalelanya mental oportunisme dalam masyarakat, bukan
mental tanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban. Sehingga Rasulullah dalam
sebuah kesempatan mengatakan: “Allah melaknat atas orang yang menyuap dan
yang disuap juga melaknat perantaranya.”
Hal ini
juga sudah dipertegas oleh Majelis Ulama Indonesia dengan mengeluarkan fatwa
bahwa haram melakukan korupsi yang termasuk di dalamnya suap-menyuap dan
memberikan hadiah kepada para pejabat dengan tujuan meluruskan suatu perkara
yang batil (bukan haknya). ( Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal
: 270).
3. Ghasab (Merampas)
Korupsi
juga dapat disamakan dengan ghasab,
yaitu perbuatan mengambil secara paksa (merampas) hak orang lain kemudian
mengakui hak kepemilikan suatu harta benda tersebut. Orang yang melakukan
perbuatan ini nilainya lebih berat dibandingkan dengan mencuri meskipun
hukumannya serupa. Yakni hukuman potong tangan sekaligus mengembalikan atau
mengganti barang yang telah diambil.
C. Penutup
Untuk
mengantisipasi tindakan korupsi di negara kita ini, kita harus kembali
mengamalkan ajaran Islam. Memulai mengaplikasikan sifat sadar akan keharaman
tindakan korupsi dari individu, keluarga, masyarakat serta aparatur negara.
Tidak mungkin masalah korupsi di negara ini bisa diselesaikan apabila para
pejabat pemerintahannya sendiri tidak bisa lepas dari sifat korup.
Untuk
meniti kepada kesadaran individu tersebut, mestilah individu tersebut
melaksanakan perintah salat, puasa, zakat seta berakhlak mulia. Juga menerapkan
sifat Ihsan di dalam hidup. Yaitu “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihatnya, apabila engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia (Allah) melihatmu.”
(H.R. Muslim).
Komentar