Bagi kebanyakan orang tua, mendidik
anak bisa dikatakan gampang-gampang susah. Terkadang mereka begitu mudahnya
diatur dan diperintah, terkadang pula anak begitu susah untuk dikendalikan.
Oleh karena komplikasi tersebut, mestilah ada metode yang tepat dari orang tua
dalam mendidik anak-anaknya.
Sebagai contoh, salah satu kesalahan
yang sering terjadi di antara orang tua dan anak ialah masalah keadilan.
Dikisahkan pernah salah seorang sahabat Rasulullah bernama Basyir bin Tsa’labah
pernah membawa anaknya (an-Nu’man bin Basyir) menemui Rasullah saw., Basyir
berkata “Sesungguhnya saya telah memberikan seorang budak laki-laki kecil
milikku kepada anak ini” Nabi berkata “Apakah semua anakmu juga engkau
beri masing-masing seorang budak laki-laki kecil seperti yang engkau berikan
padanya?” Basyir berkata “Tidak,” Rasulullah bersabda: “Kalau
begitu, ambil lagi budak itu” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).
Memperlakukan
anak secara tidak adil termasuk salah satu cara yang salah dalam mendidik anak.
Itulah mengapa Rasulullah memberikan koreksi terhadap keputusan Basyir agar
memperlakukan anak-anaknya dengan adil. Meskipun harta yang diberikan itu milik
orang tuanya sendiri, tetapi dalam mendidik anak, mesti memperhatikan
aspek-aspek keadilan dan keseuaian terhadap anak.
Di bawah ini akan penulis terangkan
beberapa kesalahan orang tua yang keliru dalam mendidik anak.
1. Perbuatan Orang tua Tidak Sesuai dengan
Ucapannya
Rumah
merupakan lingkungan yang pertama sekali sebagai sarana belajar bagi seorang
anak. Maka secara otomatis anak akan belajar banyak dari kedua orang tuanya,
maka sebagai orang tua, perkataan mesti sejalan dengan perbuatannya. Allah subhanahu wa taala
menerangkan di dalam Alquran yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS.
as-Shaf: 2-3).
Dorothy
Law Nolte seorang penulis dan penasihat keluarga dari Amerika, pernah mengatakan ungkapan-ungkapan bijak
mengenai permasalahan cara mendidik anak. Jika anak dibesarkan dengan
celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar
berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah. Jika anak
dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan
olok-olok, ia belajar merendahkan diri. Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia
belajar kedengkian. Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa
bersalah. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika
anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan
dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan
penerimaan, ia belajar mencintai. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia
belajar menyenangi diri. Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar
mengenali tujuan. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar
kedermawanan. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar
kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar
menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar
menemukan cinta dalam kehidupan. Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Kutipan
di atas, mengajari kita sebagai orang tua betapa keteladanan dalam mendidik
anak sangat berperan penting dalam kehidupannya. Bagaimana bisa seorang anak
bisa berlaku jujur, jika ia tahu orang tuanya suka berbohong. Bagaimana bisa
seorang anak belajar amanah, jika orang tuanya sendiri suka menipu. Bagaimana
mungkin seorang ayah melarang anaknya untuk tidak merokok, padahal ayahnya sendiri menjadi pencandu berat. Maka
sebagai orang tua, perlu menjaga segala perkataan dan perbuatannya sebagai
pendidik, karena anak akan selalu merekam perilaku orang tuanya dan
mengaplikasikannya di dalam kehidupannya.
2. Terjadi Perbedaan Cara Mendidik Anak antara
Kedua Orang tua
Tidak
jarang terdapat perbedaan yang terjadi di antara Bapak dan Ibu dalam hal
mendidik anak. Misalkan seorang anak melakukan hal-hal yang menurut ibunya
membanggakan sehingga membuat ibu memujinya. Sebaliknya, sang ayah memandang
hal-hal yang dilakukan anak tersebut malah tidak ada gunanya, sehingga ayah
bersikap marah atau malah melarangnya. Secara spontan anak akan merasa bingung
menghadapi perbedaan sikap yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Apakah ia
harus mendengarkan kata-kata ibunya lalu melakukan hal itu lagi, atau harus
mendengarkan ayah lalu meninggalkannya?
Sudah
menjadi kebiasaan, seorang ayah sering kali mendidik anak dengan kasar, namun
setelah itu ibu datang dengan perannya membela si anak. Alhasil, anak tersebut
akan semakin nakal, karena
ia merasa ada yang menjadi pembela dirinya. Sehingga kemarahan ayah tidak lagi
dianggap “momok” yang mesti ditakuti. Oleh karena itu, hendaknya terjadi
kesepakatan di antara kedua orang tua dalam memberikan komentar terhadap anak.
Setidaknya hal itu dapat dilakukan ketika di hadapan anak. Jika memang perlu
untuk diperbincangkan, hendaknya hal itu dilakukan tidak di depan anak.
3. Membiarkan Anak Menjadi Korban Media
Sikap
acuh orang tua terhadap perilaku anak yang keranjingan media dapat menjadikan
anak di luar kendali. Karena media sendiri ibarat pisau bermata dua, di satu
sisi dapat memberikan manfaat, namun di sisi lain dapat pula merusak hidup anak. Sayangnya, hanya
segelintir orang tua yang menyadari hal itu. Dengan membiarkan anak asyik
bermain dengan jejaring sosial dan tidak mengawasi tontonannya, maka secara
otomatis kepribadian si anak akan dibentuk oleh informasi-informasi yang ia
dapat dari media tersebut.
Maka
sebagai orang tua, harus betul-betul memperhatikan dan mengawasi tontonan dan
informasi yang ia dapat dari media. Karena tidak mungkin kita melarang mereka
untuk tidak bersentuhan dengan media-media tersebut, melihat begitu banyak
kebutuhan-kebutuhan anak dan informasi tentang pelajarannya yang ia dapatkan di sana. Secara spontan hal ini memang tidak
mudah, namun jauh lebih mudah daripada akhirnya anak terlanjur menyerap
informasi-informasi yang dapat merusak akhlaknya dan membuatnya terjerumus ke
dalam hal-hal yang tidak baik.
4. Menyerahkan Tanggung Jawab Anak Sepenuhnya
Kepada Sekolah
Sering
kali orang tua yang sibuk dengan segala urusan pekerjaannya melalaikan tanggung
jawabnya terhadap anak. Mereka berpikir
bahwa si anak sudah cukup mendapat didikan di sekolah saja, karena tidak
sedikit sekolah yang menerapkan sistem Full Days. Akhrinya si anak pun
lebih banyak mendominasi sifat kebebasan di sekolah yang menjadi kebiasaannya
dalam berinteraksi dengan orang tua di rumah. Atau yang lebih parah lagi, si
anak malah lebih sering bergaul dengan pembantu dan pengasuh di rumah.
Akibatnya, anak akan merasa kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya
yang hal itu sangat mereka butuhkan untuk perkembangan jiwa dan masa depannya.
Allah subhanahu
wa taala berfirman: “Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu
itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (QS. Al-Anfaal: 28)
Sudah
seharusnya menjadi orang tua memahami tentang apa yang dimaksud dengan
pendidikan anak dan tujuannya. Dengan demikian, setiap gejala yang terjadi
dalam pertumbuhan anak dapat ditanggapi dan ditanggulangi secara baik dan
benar, serta tidak lepas tanggung jawab kepada para pendidiknya di sekolah.
5. Mengekang dan Merendahkan Anak
Bermain
adalah salah satu faktor penting yang dapat menunjang pertumbuhan serta
perkembangan fisik dan mental anak. Kebanyakan orang tua tidak memberikan
kesempatan kepada anak untuk bermain bersama rekan
sebayanya dengan berbagai alasan. Akhirnya istilah MKS (Masa Kecil Suram) pun
terjadi pada anak. seyogiyanya hal itu tidak perlu dilakukan, hanya saja
meskipun orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk bermain, meski ada
kontrol dengan siapa ia bergaul dan permainan apa saja yang ia lakukan. Agar si
anak juga tidak salah dalam memilih teman dan tidak menyimpang ke jalan yang
salah.
Ada pula
jenis orang tua yang suka sekali merendahkan dan memarahi anak dengan
kalimat-kalimat negatif. Disadari atau tidak, hal itu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan mental dan kepribadian si anak. misalkan perkataan ”Bodoh
kamu, mengerjakan ini saja tidak bisa!, atau perkataan Sudahlah, kamu
tidak akan mampu melakukannya. Kelihatan memang masalahnya sepele, tapi
ucapan itu akan memberi pengaruh negatif terhadap
anak.
Cara
mendidik seperti ini akan menghasilkan pertumbuhan anak menjadi pribadi yang
kerdil, kehilangan kepercayaan diri dan akan selalu gagal dalam melakukan
sesuatu, karena sugesti yang negatif sering kali ditodongkan orang tua terhadap
mereka. Terlebih ketika mereka memang sudah gagal dalam melakukan sesuatu,
ditambah lagi dengan ucapan-ucapan yang dapat menjatuhkan mental mereka. Maka
jadilah anak itu menjadi anak bodoh dan penakut.
Karena
itulah, sangat penting bagi orang tua untuk dapat memilih kata-kata yang baik dan
benar dalam menasihati anak. Memberikan kalimat-kalimat santun yang dapat
memotivasi dan membangun kepercayaan diri si anak. Agar mentalnya selalu siap
menghadapi segala persoalan hidup, bukan hanya ketika ia kecil, tapi hal itu
akan berefek terhadap kehidupannya kelak.
Komentar