MENGGAPAI PREDIKAT TAKWA DI BULAN SUCI RAMADAN





            Kata-kata takwa sering kita dengar di dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu di waktu ceramah, kuliah, bahkan setiap hari jumat (salat jumat), wasiat takwa adalah sesuatu hal yang mesti untuk diucapkan, karena wasiat takwa merupakan salah satu rukun di dalam khutbah jumat. Definisi takwa adalah  "imtitsal al-awamirillah wajtinabu nawahih", Menjunjung tinggi perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Namun permasalahannya sekarang, mengapa umat Islam tidak bisa memaknai arti takwa itu sebenarnya, sehingga yang terjadi bukannya menjauhi larangan Allah, tapi malah ikut membaur dengan kemungkaran-kemungkaran yang semakin merajalela di permukaan bumi ini.
Untuk dapat menggapai predikat takwa dari Allah subhanahu wa taala, setidaknya ada beberapa tahapan yang mesti kita lalui. Tahapan yang pertama adalah sukur. Allah menerangkan di dalam Alquran "Sesungguhnya jika kamu bersukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih. (QS. Ibrahim : 7). 
Ketika seseorang diberi  oleh Allah subhanahu wa taala sebuah  jabatan, rezeki yang berlimpah serta hidup yang serba berkecukupan, dia lupa akan siapa yang telah memberikan semua itu kepadanya. Dia merasa bahwa karena jirih payahnyalah yang telah bekerja mati-matian sehingga bisa menuai hasil terhadap apa yang telah ia kerjakan. Namun, ketika ia diberi rezeki yang sedikit, jabatan yang rendah, serta hidup yang serba kekurangan, maka ketidakpuasan pun menjadi sebuah penyakit di dalam dirinya yang akan menimbulkan tindakan korupsi agar dapat memperbaiki kemiskinan yang dialaminya. Padahal Allah subhanahu wa taala telah memberikan penjelasan kepada kita semua di dalam Alquran Surah an-Nahl yang berbunyi “Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (semuanya). (QS. An-Nahl : 53).
Coba kita perhatikan, tsunami meratakan Aceh, meletusnya Gunung Sinabung, Gunung Merapi, banjir bandang di Wasior, mungkin semua itu terjadi karena tidak adanya rasa sukur manusia terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa taala yang akhirnya Allah menurunkan bala sebagai balasan terhadap manusia yang terus menerus mengupas kulit bumi sehingga puing-puing bumi itu sendiri ikut menelan masyarakat yang tidak bersalah.
Kedua adalah sabar. Sifat sabar ini banyak di sinyalir oleh Allah subhanahu wa taala di dalam Alquran, salah satunya di dalam surah Al-baqarah ayat 153 yang berbunyi“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang  sabar”. Sabar adalah tangga kedua yang harus dinaiki seseorang setelah ia berhasil menguasai sifat sukur. Terkadang, ketika seseorang telah memiliki sifat sukur, namun dia tidak pernah bersabar, maka ketakwaan pun akan semakin menjauh dari kehidupanya. Maka dampak yang akan ditimbulkan oleh sifat tidak bersabar ini akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, bahkan bagi orang lain.
Ketidaksabaran ini juga dapat kita contohkan terhadap pergaulan bebas para  remaja yang saat sekarang ini, menjadi bahan perbincangaan yang sangat aktual untuk dibahas di tengah-tengah pergejolakan dunia yang semakin memanas. Para remaja yang tak sabar menunggu waktu untuk menikah, dengan gampang menerobos hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa taala dengan melakukan seks bebas (free sex) tanpa harus memikirkan dosa dan dampak yang dihasilkan dari perbuatan itu.
Menurut informasi penulis dapat dari BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) pada tahun 2010, di Sumatra Utara terdapat 52 % jumlah remaja yang tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas (free sex), beberapa persen diantaranya melakukan aborsi karena hamil di luar nikah. Sedangkan di Jakarta, khususnya Jabodetabek hanya terdapat 51% dari remajanya yang tidak perawan lagi. Maka secara otomatis, Sumatra Utara telah berhasil mengalahkan ibukota Indonesia (Jakarta) dalam hal seks bebas (free sex). Na’udzu billahi min dzalik
Fenomena-fenomena yang terjadi di atas, menggambarkan ketidaksabaran manusia yang akan semakin menjauhkan mereka dari ketakwaan. Maka sabar, berperan penting dalam proses pencapaian takwa.
Tahapan ketiga adalah ikhlas,  ikhlas adalah mengerjakan segalah sesuatu karena Allah tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali hanya rida-Nya. Oleh karena itu, ikhlas menjadi tahapan terakhir yang mesti dicapai untuk memperoleh predikat takwa dari Allah subhanahu wa taala. Di antara tahapan pencapaian takwa yang paling berat adalah ikhlas. Agar lebih mudah untuk menguasai sifat ini, kita harus terlebih dahulu menguasai sifat sukur dan sabar. Tanpa kedua sifat ini, maka akan semakin panjang perjalanan menuju sebuah ketakwaan.
Firman Allah subhanahu wa taala, “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan-untuk-Nya ketaatan lagi lurus…(Q.S. Al-Bayyinah : 05). Kata  mukhlishin pada ayat ini berasal dari kata khalusa yang berarti murni, setelah sebelumnya diliputi atau disentuh oleh kekeruhan. Dari makna ini, ikhlas adalah upaya memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, masih diliputi atau dihinggapi oleh sesuatu selain Allah, misalnya pamrih, riya dan semacamnya.
Kebanyakan orang sering merasa kesulitan untuk bisa ikhlas. Karena, untuk mencapai keikhlasan, terlebih dahulu harus membuang jauh sifat riya. Sedangkan riya, adalah sebuah penyakit hati yang sulit untuk menundukkannya. Imam Al-ghazali mengatakan, untuk bisa menundukkan sifat riya adalah dengan juhud. Sifat riya adalah sebuah perbuatan yang ingin dipuji oleh orang lain ketika melakukan sesuatu. Maka tak heran jika Rasulullah saw. mengatakan riya adalah syirik kecil. Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh Allah subhanahu wa taala dalam firman-Nya “Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang yang lalai dalam salatnya. Orang-orang yang berbuat riya. (Q.S. Al-maa’uun : 4 dan 6).

Komentar