Terik
sang surya membakar bumi dan seisinya, menembus lapisan dinding ozon yang sudah
tak utuh membentang langit. Menerobos belantara lapisan ketebalan atap bumi
yang semakin melapuk, mencoba memberi arti pada seluruh penjagal-penjagal
bangunan tinggi menjulang tak menentu. Di sudut sebuah ruangan seorang wanita
paruh baya duduk termenung menatap sekumpulan semut yang sedang berlari mengais
sisa makanan yang berceceran di lantai. Sesekali kumpulan hewan kecil itu
menatap acuh pada wanita itu, seperti tak ingin ketenangan mereka diusik.
Wanita
itu bernama Ismawati. Ternyata sedari tadi ia memperhatikan semut-semut yang
berbaris di dinding itu dan mencoba menelisik ke dalam kehidupannya sendiri. Ia
seperti berkaca pada kehidupan para semut yang memikul beban yang sangat berat
di mulutnya. Berulang kali makanan yang melebihi ukuran badannya itu terjatuh,
namun berulang kali pula hewan kecil itu memungutnya kembali dan membawanya
pulang ke sarang.
Ismawati
masih dalam lamunannya, membayangkan jirih payahnya selama ini mengais
kehidupan untuk memperjuangan pendidikan anak-anaknya. Sejengkal perutnya
sering kali ia lalaikan hanya karena memikirkan anak-anaknya yang belum makan
dan belum bayar uang sekolah.
Setiap
hari ia harus berpagi-pagi berjualan sayur di pajak Balige[1]
dan harus pulang untuk memasak dan mempersiapkan kebutuhan sekolah
anak-anaknya. Belum lagi lakonnya sebagai guru TK yang setiap hari harus
mengajar tak jauh dari rumahnya. Sorenya, ia berjualan gorengan di simpang
jalan untuk menambahi kebutuhan keluarga. Begitulah setiap hari ia tak pernah
berhenti berjuang mati-matian untuk menghidupi ke empat orang anaknya.
Sementara
suaminya hanya tidur-tiduran di rumah, sesekali pergi entah kemana dan pulang
dalam keadaan mabuk dengan membawa botol minuman di tangannya. Dalam keadaan
seperti itu, ia akan membentak istrinya meminta uang untuk berjudi dan membeli
minuman. Sering kali Ismawati melawan, namun perempuan itu terlalu gampang
untuk dilumpuhkan hanya dengan sekali cekikan.
“Heh...kau
jangan macam-macam, kubunuh kau nanti. Cepat berikan uangmu, aku mau bayar
hutang di tempat perjudian.” Selalu saja ancaman itu membuat Ismawati lemah tak
berdaya. Jika memang ia akan mati, lalu bagaimana nanti nasib anak-anaknya,
pasti akan sama bejatnya dengan ayah mereka.
Tak satu
pun anak-anaknya mau tau terhadap apa yang dilakukan ibunya. Membanting tulang
setiap hari demi mereka. Tapi mereka seolah tak perduli dengan semua itu.
“Kami
kan anak, mamak mesti membiayai kebutuhan kami, karena kami masih tanggung
jawab orang tua.” Begitulah ucapan anak-anaknya setiap kali Ismawati meminta
mereka untuk ikut membantunya berjualan, minimal bisa membantu membereskan
pekerjaan rumah. Tapi tetap saja mereka tak perduli dengan perjuangan yang
dilakukan wanita tua itu.
Hampir
setiap malam Ismawati memanjatkan doa memohon ampunan kepada Allah dan
dimudahkan dalam segala hal demi mengurus keluarganya.
“Ya
Allah... hamba tahu, engkau tidak akan memberikan hamba cobaan di atas
kemampuan hamba. Tapi hamba selalu bertanya-tanya di dalam hati, kapankah semua
ini akan berakhir, hamba sudah lelah ya Allah.” Isak Ismawati terdengar jelas
di keheningan malam. Mencoba mengadukan persoalan hidup pada Rabbnya.
Ismawati
beranjak dari lamunannya, membakar semua semak belukar yang ada di hatinya dan
kembali lagi berkutat dengan lakonnya sebagai seorang ibu yang tegar seperti
karang di tengah lautan yang tak henti-hentinya diterjang ombak.
***
“Hallo..., bisa bicara dengan Pak
Johan?”
“Ia, saya sendiri, ini siapa?”
“Ini dari kantor polisi, Pak. Istri
bapak ibu Ismawati baru saja mendapat kecelakaan, sekarang sedang di rawat di
rumah sakit Pirngadi.”
“Oh...baik, terima kasih, Pak.” Ucap
Johan datar sambil menutup telponnya.
“Siapa, pak yang barusan nelpon?”
tanya Jali pada bapaknya.
“Mamakmu masuk rumah sakit. Paling
seperti kemarin, di senggol becak. Biarkan saja lah, nanti juga dia pulang
sendiri.” Johan dan anaknya acuh terhadap keadaan Ismawati.
Sehari, dua hari, tiga hari,
Ismawati tak kunjung pulang. Suami dan anak-anaknya mulai merasa kehilangan
sesuatu dalam hidup mereka. Tidak ada yang memasak makanan, membersihkan rumah,
memberi uang jajan sekolah, terlebih suaminya yang tak lagi merasakan air
hangat untuk mandi yang dibuatkan Ismawati padanya setiap malam.
Sementara Ismawati belum juga sadar
dengan komanya. Kakinya patah, kepala bocor dan ada beberapa jahitan di bagian
pipinya. Tabrakan yang menimpanya sangat keras, hingga ia tidak sadarkan diri.
Tampak seorang pria sudah tiga hari menungguinya di rumah sakit. Karena
buru-buru ke kantor, ia tak sengaja menabrak Iswamati yang sedang menyeberang
di perempatan jalan sutomo. Akhirnya ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Laki-laki itu heran, mengapa tidak satu pun dari keluarga
perempuan itu yang menjenguknya. Padahal sudah berulang kali ia menelpon
keluarga perempuan itu, kadang tidak di angkat, kadang pula dijawab ketus
seolah mereka tak perduli dengan perempuan itu.
Hari ke empat barulah Ismawati
sadar. Setelah dijelaskan oleh Rudi yang menabraknya barulah ia ingat bahwa
sedang buru-buru mengejar angkot untuk segera pulang ke rumah. Ismawati meminta
pada Rudi agar segera mengantarkannya pulang, ia gusar mengingat anak-anaknya.
Siapa yang memasak, siapa yang memberi jajan, siapa yang membangunkan Bayu
untuk berangkat ke sekolah. Namun karena kondisinya belum sembuh, ia terpaksa
menginap selama beberapa hari di rumah sakit.
“Buk Isma, saya minta maaf karena
telah menabrak ibu.” Ucap Rudi dengan sedikit memelas berharap Ismawati mau
memaafkan kesalahannya.
“Sudah la pak, tak mengapa, saya
juga terburu-buru.” Sebenarnya bisa saja Ismawati menuntut agar diberi uang
santunan. Rudi juga dengan gampang akan memberikan uang santunan itu, namun
begitulah Ismawati, wanita dengan keikhlasan dan kelembutan hatinya tak pernah
ingin mengambil kesempatan di balik kesempitan. Lalu, bagaimana dengan nasib
anak dan suaminya, apakah mereka akan menjenguk Ismawati, apakah sekolah mereka
tetap lanjut, apakah ada yang membangunkan Bayu untuk pergi sekolah, siapa yang
akan memasakkan sarapan untuk mereka? Ismawati masih terbaring di rumah sakit,
menatap langit-langit dengan penuh harap, dari matanya mengalir air mata
membasahi pipinya. Dalam hati kecilnya tetap berdoa untuk masa depan
keluarganya, Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua ini.
Komentar