CINTA DISEPOTONG TELUR DADAR


            Setiap orang memiliki kisah dalam hidupnya, terlepas itu kisah senang ataupun susah, namun bagiku ada sebuah kisah yang sangat berkesan, sampai saat ini aku tetap mengingatnya. Kelak, akan kuceritakan kepada anak-anakku agar mereka tahu bagaimana perjuangan kakek dan nenek mereka membesarkan kami dimulai dengan sepotong telur dadar.

            Aku adalah Al Hilal, anak ke-3 dari 4 bersaudara. Kami terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah seorang petani dan ibu seorang suri rumah tangga. Ayah dan ibu harus membanting tulang untuk menyekolahkan kami, bahkan tak jarang mereka berdua berpuasa agar makanan cukup untuk kami ber-4.

            Setiap malam, sebelum ayah dan ibu membacakan cerita pengantar tidur untuk kami, ibu selalu berpesan.

            “Nak, doakan besok ayam kita bertelur, supaya kalian bisa sarapan.” Ya, begitulah kehidupan kami, sarapan di pagi hari hanya bergantung kepada seekor ayam betina. Semoga setiap hari ayam tersebut bertelur dan mengikhlaskan telur-telurnya untuk kami makan. Mungkin pembaca mengira bahwa ada banyak telur yang akan kami makan setiap paginya. Namun nyatanya, telur itu hanya ada satu. Ya, pembaca mungkin mengira tidak akan cukup. Namun itulah kehebatan ibuku. Satu telur ayam dicampur dengan segala macam pernak-pernik bumbu dapur lalu diberi kelapa parut agar telur dadar bisa menjadi besar dan cukup untuk kami makan.

            Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ayam tersebut tidak bertelur? Ya, kami juga selalu khawatir jika itu terjadi. Kalau pun ayam tersebut tidak bertelur, maka kami harus merelakan uang jajan pada hari itu untuk membeli roti panggang, namun bukan roti panggang yang seperti di café-café mahal. Roti panggang yang harganya seribu rupiah, ukurannya pun hanya sebesar dua kali jempol kami dan isinya ada sepuluh.Kami menyebutnya dengan masokut. Setiap dari kami dapat jatah 2 bagian dan 2 bagian lagi untuk ayah dan ibu. Begitulah setiap harinya hidup kami berjalan sampai akhirnya kami bisa lulus sekolah.

            Namun, tidak cukup disitu saja, kami harus berjalan kaki atau bersepeda menempuh jarak sepanjang 8 kilometer setiap harinya untuk menimba ilmu di sekolah. Jika musim kemarau, kami masih bersyukur bisa menaiki sepeda, namun jika musim hujan, kami tak punya pilihan selain menempuh jarak dengan berjalan kaki. Jauh memang, hanya karena kami pergi dengan teman-teman, jarak yang jauh tidak terasa berat untuk sampai di sekolah. Namun, bukan berarti jarak yang jauh menjadikan kami bisa bertoleransi dengan kedisiplinan, semua pelajar dari desaku tidak pernah terlambat. Kalaupun ada, mungkin itu karena insiden kecil di jalan, misalnya jatuh bergelimang lumpur, ada binatang yang menghadang atau bahkan hujan yang tak kunjung reda.

            Pernah suatu ketika aku terlambat datang ke sekolah karena hujan sangat deras mengguyur kami. Sebagian dari kami ada yang bertahan menunggu hujan reda, sebagian ada yang pulang, namun aku dan ketiga saudaraku terus melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Setibanya di sekolah sekujur tubuhku basah, aku masih ingat ketika itu sedang belajar geografi (IPS) di depan pintu aku berdiri sambil memandangi guru yang sedang mengajar. Beliau akhirnya sadar lalu menghampiriku.

            “Tiriskan pakaianmu, setelah itu baru boleh masuk.” Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Pak Hayat Rao, guru favoritku. Aku tersenyum karena beliau sangat senang melihat perjuangan kami untuk bersekolah, sehingga keterlambatanku tidak menjadi masalah besar, namun sudah terhapus oleh perjuangan yang tak pernah lelah untuk terus belajar.

            Tidak habis sampai disini, setelah aku masuk ke dalam kelas, aku mendapati semua buku pelajaran sudah basah. Artinya, hari ini aku tidak bisa mencatat seluruh mata pelajaran. Teman sebangkuku, Firman melirik ke arahku seolah ingin mengatakan sesuatu. Kutatap wajahnya setengah berbisik,

            “Kenapa?”

            “Tuh, netes.” Ia berpaling sambil tersenyum. Sontak saja kulihat ke bawah mejaku, banyak air yang menetes dari sekujur tubuhku. Seolah tak ada masalah, aku lanjut mendengarkan guru menjelaskan pelajaran hari itu.

            Setelah belajar seharian, baju dan celanaku juga kering dengan sendirinya, sewaktu istirahat, kujemur baju sekolahku di tiang gawang sambil bermain bola. Sampai jam pulang pun tiba, seluruh pakaianku sudah kering. Satu-satunya yang paling kami benci dari sekolah adalah pulang. Kalau seandainya sekolah mengizinkan kami menginap, maka kami akan tidur disana. Jika kebanyakan pelajar menganggap pulang adalah kesenangan, namun tidak bagi kami. Karena berjalan 8 kilometer di bawah terik matahari itu tidak mudah, lain lagi dengan kondisi perut yang sudah keroncongan. Namun, kami harus tetap pulang. Setiap ada pohon jambu yang kami lewati, kami tak akan segan-segan untuk memintanya. Sebagian warga mengizinkannya, namun tak jarang mereka tidak memberinya dengan alasan “dijual” Kami tak putus asa untuk itu, karena ada puluhan pohon jambu yang siap sedia menunggu kami meminta kepada tuannya.

            Setibanya di rumah, ibu sudah menyediakan makanan untuk kami, ibu sangat paham dengan kondisi lelah dan kelaparan yang kami rasakan. Gulai Lomak, adalah lauk favorit kami. Sebelum makan, kami harus membagi dulu makanan supaya adil, Lahmuddin, kakak kedua yang kami sebut dengan “Sang Pembagi.” Entah kenapa, tidak ada yang bisa adil sepertinya, bagaimana tidak, ukuran nasi, sayur dan ikan sama persis pembagiannya. Bahkan siraman kuah gulai lomak pun hampir tak bisa dibedakan. Fadli, adalah adik paling kecil yang harus lebih dahulu mengambil bagian, katanya karena dia paling kecil jadi harus didahulukan.

            Setelah makan, kami harus membantu ayah dan ibu berjualan pisang. Banyak hal menarik yang kami dapat dari perjuangan ayah dan ibu dalam berdagang. Sewaktu kami sekolah, ibu akan pergi untuk membeli pisang kepada warga sekitar rumah, ada beberapa dari mereka yang mengantar ke rumah. Menunggu kami pulang, sepeda tua dengan kerancang pisang di sisi kiri dan kanannya sudah terisi penuh dengan pisang dan siap untuk diantar, ayah sangat lihai menyusun pisang-pisang itu dengan rapi. Jadwal mengantar pisang bersama ibu adalah hal yang tak terlupakan. Bagaimana tidak, banyak sekali ilmu yang kudapat dalam perjalanan ini.

            Ibuku tidak tamat sekolah dasar (kalau dulu masih disebut dengan SR atau Sekolah Rakyat), tapi hitungan matematikanya kupikir melebihi kami yang sudah bersekolah. Namun ketika berjualan agak sedikit aneh, pikirku.

            “Buk, berapa harga pisangnya?” ucap seorang wanita menghampiri kerancang pisang kami, berniat untuk membelinya.

            “Saya beli satunya dua ribu, bu, terserah ibu mau lebihkan berapa.” Itulah yang membuatku bingung, kenapa ibu mau menjual sesuatu yang modal awalnya disebutkan dan keuntungan diserahkan kepada pembeli. Otomatis hitungan ekonomiku terusik oleh sikap ibuku. Namun tetap saja ibu selalu melakukan itu setiap kali berjualan. Sampai pada suatu hari kuberanikan untuk bertanya pada ibu.

            “Bu, kenapa berjualan seperti itu, kan kita bisa rugi, orang jadi tahu berapa modal kita dan kita bisa sedikit dapat untungnya?” Kujejal pertanyaan bertubi-tubi pada ibu. Namun ibu hanya tersenyum melihatku.

            “Yang ibu lakukan adalah berdagang dengan meniru Rasulullah Sallallahu‘Alaihi Wa Sallam.” Aku langsung terkejut dan diam seribu bahasa, setelah lama sekali berfikir kutatap wajah ibuku. Saat itu rasanya ingin aku memeluk dan menciumnya, tapi karena kami di jalan dan banyak sekali orang lalu-lalang, malu rasanya melakukan itu. Bagaimana tidak, aku yang setiap harinya belajar agama di sekolah, tak pernah sadar bahwa itu cara berdagang Rasulullah, bukan hanya itu, bagaimana bisa seorang ibu suri rumah tangga yang tidak selesai di bangku sekolah dasar malah memahami lebih dalam dan mengamalkan ajaran nabi.

            Ibuku bukan seorang ustazah yang lulus dari Mesir, bukan pula istri seorang ulama yang memiliki pondok pesantren, ibuku adalah guru terbaik sepanjang hidup kami, sederhana, ikhlas dan penuh kasih. Ibuku adalah ibu terbaik sepanjang zaman.

            Setelah pisang terjual habis, ibu akan menggunakan modal dan keuntungan tadi untuk membeli ikan kepada nelayan untuk dijual lagi di sepanjang jalan menjuju pulang. Sama persis cara berjualan pisang, ikan juga dijual dengan cara Rasulullah. Ada pembelajaran yang sangat berharga di setiap perjalanan kami, perjalanan yang akhirnya menghantarkan kami semua menjadi sarjana, bahkan sekarang kakak tertuaku Irwansyah sedang menjalani S3 Hukum Islam di UIN Sumatera Utara.

            Ada banyak kisah berharga dalam hidup kami, kisah cinta seorang ibu yang selalu mengajarkan kepada kami tentang arti hidup, kisah cinta seorang ibu yang selalu membacakan cerita sebelum kami tidur, kisah cinta seorang ibu yang tak henti-hentinya mendoakan anak-anaknya di sepertiga malam bersama tahajjudnya, kisah cinta seorang ibu yang berjalan sepanjang hari untuk menjajakan dagangan ala Rasulullah, kisah cinta seorang ibu yang selalu menyiapkan makanan terbaik yang ia punya untuk anak-anaknya, kisah cinta disepotong telur dadar yang menghantarkan kami menempuh pendidikan.

            Kisah ini, kusampaikan pagi ini kepada peserta didikku, ini adalah tahun pertamaku mengajar di SMA Maitreyawira Batam, berharap bisa menginspirasi untuk mereka. Setidaknya, memberi mereka semangat untuk tidak pernah menyerah mengejar cita-cita. Karena pendidikan hadir bukan untuk orang-orang kaya dan mampu, namun pendidikan hadir untuk orang-orang yang mau berjuang untuk mendapatkannya.

 

 

                                                                        #Untuk Umikku Tercinta, Rusnah Saragih


Komentar

ow mengatakan…
mantap pak :)
Unknown mengatakan…
Pengalaman hidup yang sangat menyentuh hati saya pak,baru saja bergelinang air mata menghayati perjuangan bapak😭,saya bangga bisa mempunyai seorang guru seperti bapak🙏