DIAKHIR NAFASMU, IBU


Pagi ini mendung masih berlabuh di pelataran langit, seolah enggan menyeruak lapisan ozon untuk menampakkan sang surya melaksanakan titah menyinari bumi. Langit seolah ingin menumpahkan segala isinya, membiarkan rinai perlahan jatuh membasahi setiap lekuk kulit bumi. Sejenak aku memandangnya, berfikir bahwa langit sama seperti hidupku, gelap.

Hari ini aku harus bimbingan proposal, sedang ibu masih terbaring ringkih berjuang melawan sakit yang dideritanya. Namun tatapan mata itu yang menyuruh aku seolah jangan pernah meninggalkan bangku kuliah. Meski ibu tak berkata apapun ketika aku pergi, namun senyum itu, isyarat kerlipan mata itu, seolah memberi makna yang tak bisa aku jelaskan dengan ucapku, namun selalu berkelabat di benakku. Ah… mengapa gulana di hati ini harus menemaniku menyusuri jalan menuju kampus.

Ibu, sudah dua bulan ia terbaring di rumah sakit. Aroma obat-obatan dan seragam putih sudah tak asing lagi baginya, setiap hari aku harus menemani ibu melawan rasa sakit yang dideritanya, meskipun ia selalu mengatakan bahwa ia kuat, namun wajah dan senyumnya bisa menjelaskan sakit yang sedang ia rasakan.

Kususuri jua jalan yang panjang itu, merata bersama aspal menuju kampus. Warna yang lekat dan bangunan yang khas itu membuat aku sadar, bahwa sebentar lagi aku akan meninggalkannya.

Ponselku berdering keras, my sister calling, begitu tertera di layarnya. Entah mengapa seolah berat rasanya memencet tombol-tombol itu, seolah hati melarang untuk tidak memperdulikannya.

“Hallo, ada apa kak?” tanyaku memburu orang di balik layar itu.

“Dik, kamu dimana?”

“Di kampus, ada apa?” lagi aku mengulang pertanyaan yang sama.

“Ibu, dik, kamu ke rumah sakit sekarang.” Hanya itu yang ia katakan. Kupacu lagi motorku menuju rumah sakit, tanpa memikirkan proposal skripsiku, yang ada di benakku saat itu adalah bagaimana secepat mungkin aku bisa sampai di rumah sakit dan melihat keadaan ibu.

“Koma, dik.” Ucap kak Desi sedari tadi menunggu kehadiranku di pintu ruangan ibu, Bougenville 6 Kelas 1. Limbung, aku jatuh di pelukan kak Desi, menangis seolah kata-kata itu adalah sebuah batu besar yang menghimpit dadaku, membuat aku tak bisa berkata apapun, sesak dan hanya ada air mata.

Setelah ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya, hanya ibu tempat kami bergantung, tempat kami berkeluh kesah, tempat kami berbagi kasih, tempat kami berbagi cerita. Namun, kata “koma” itu membuatku seolah tak rela jika ibu sama seperti ayah, meninggalkan kami menatap puing-puing hidup yang tak tahu harus berakhir dimana.

***

            Seminggu sudah berlalu, namun ibu masih diam membisu di atas kasur berbau obat itu, beberapa selang menempel mulai dari hidung, mulut dan seluruh tubuhnya. Perlahan tertatih aku membacakan ayat-ayat suci Alquran, berharap Allah akan mengembalikan ibuku pada posisi semula. Keadaan ini pula membuat aku merasa sangat kecewa pada diriku sendiri, aku hanya mengingat Tuhan ketika aku membutuhkannya, padahal aku tahu Dia pasti tak pernah melupakanku meski sejenak.

            Meski terbata, kulantunkan ayat-ayat itu di samping ranjang ibu, kutatap wajah yang teduh itu, wajah yang melahirkan dan membesarkan aku dengan penuh rasa cinta. Tak kutemukan di dunia ini pelukan yang dapat menentramkan hatiku kecuali berada di pelukan ibu. Saat semua orang merendahkanku, mengejekku, namun ibu selalu mendukung dan menyemangatiku. Namun tiba-tiba saja ibu kejang-kejang, sontak aku terbangun dari lamunanku berdiri dan memanggil dokter dengan suara keras.

            “Dokteeer. . .!” Aku tak sanggup melihat wajah ibu, hanya berharap dokter menjadi tangan-tangan Tuhan untuk menarik lagi ibu dari masa kritisnya, namun dari raut wajah itu, seperti tak ada harapan lagi. Wajah yang sudah lelah menahan sakit dan perihnya tusukan jarum suntik dan selang yang menempel di sekujur tubuh ibu.

            “Siapa yang mau menuntun ibu ini?” Mata dokter itu menuju ke arahku. Sejenak aku hanya diam tanpa bisa berbuat apa, aku belum sadar apa yang telah terjadi dan bahkan aku belum sadar bahwa ibu akan pergi bersama kalimat suci yang kubacakan. Kukejar ibu dan kubisikkan itu di telinganya.

            la ilaha illallah” entah sudah berapa kali aku membisikkan kalimat itu, saat itu yang kupahami adalah aku tidak ingin ibu meninggalkanku dan akhirnya nafas ibu, denyut nadi ibu, perlahan hilang, pergi jauh meninggalkan jasadnya, meninggalkan aku yang menatapnya rapuh di sisi ranjang, meninggalkan kami dalam keadaan belum bisa berdiri dengan kaki sendiri. Meninggalkan setumpuk beban di pundakku untuk bisa berjalan sendiri menapaki hidup ini.

            Tangis itu pecah setelah aku menyadari ibu sudah tiada lagi, pergi jauh, jauh sekali. Dunia seakan berhenti berputar, aku masih tetap dalam ketidakpercayaan bahwa ibu telah pergi, ibu telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hari-hariku pun semakin gelap, seperti awan di senja ini yang menggambarkan keadaan hatiku sekarang.

            Malang tak dapat dicegah, untung tak dapat diraih, ibu tiada ayah pun tiada. Kemanalah kiranya kedua kaki ini melangkah menapaki jejak hidup yang penuh dengan duri dan liku. Aku berubah drastis, seperti memasuki labirin yang penuh dengan lika-liku dan tersesat di dalamnya. Hari itu, merupakan hari dimana separuh jiwaku pergi, rasanya tak ada lagi penyemangat hidup, bahkan aku tak peduli lagi dengan diriku sendiri.

***

            Mendung, lagi-lagi ia menerkam seluruh hidupku. Membiarkanku terkapar dalam kesendirian di pagi ini. Berdiri di depan jendela menatap rintik rinai yang menari-nari membasahi rumput hijau di halaman rumah. Andai aku seperti rumput yang menghijau itu, disirami oleh rintikan kasih saying dan cinta, mungkin aku tak nelangsa seperti ini.

            Sindi…” Suara kak Desi memecah lamunanku. Aku hanya membalasnya dengan tatapan sedih, berharap itu suara ibu yang datang kembali ke dunia ini.

            “Tak baik seperti itu terus, ikhlaskan hatimu, dik.” Kak Desi memelukku dengan erat, perlahan air mataku mengalir membasahi pipi. Tak perlu banyak aku mengungkapkan isi hati ini, kak Desi sudah tahu segalanya tentangku, tentang betapa sayangku pada ibu, tentang betapa rapuhnya aku kehilangan ibu, tentang kegelisahanku melanjutkan perjalanan hidup.

            “Sudah Ashar, mari kita salat dulu. Kita doakan ibu, semoga ibu mendapat sebaik-baik tempat di sisi Allah.” Kalimat terakhir itu mulai menyadarkanku, tak perlu tetasan air mata ini, tak perlu rasa sedih yang berkepanjangan ini, tak perlu ratapan merindu ini, yang ibu perlukan adalah doa yang selalu kukirimkan padanya. Ibu, aku mencintaimu.

 

#Untuk mengenang Ibunda Yulidar Binti Nauman Rahimahullahu ‘Anha (Alfatihah)


Komentar