KAMPUS HITAM


            Tampak jelas seorang wanita perawakan kurus berjalan terseok-seok menyusuri trotoar pinggiran kota. Seorang bocah kecil menggenggam erat tangan kanannya berjalan sambil melihat kendaraan berlalu lalang di sampingnya. Sesekali wanita itu melirik arloji di lengan kirinya, seperti mengejar waktu yang terus mengikuti derap langkah kakinya.

            Ia bukan pengamen jalanan yang biasa mangkal di lampu merah, bukan juga pengemis yang membawa anak sambil menadahkan tangan ke depan kaca-kaca mobil yang berhenti di samping trotoar itu, ia juga bukan penjaja koran yang selalu meneriakkan dagangannya kepada setiap kendaraan yang melintas di jalanan. Ia adalah Anna, mahasiswa semester akhir salah satu perguruan tinggi di kota Medan.

             “Tidak ada kata terlambat,” mungkin sepenggal kalimat itu yang membuat wanita berusia 35 tahun itu masih mengenyam bangku kuliahan. Kesadaran itu muncul ketika suaminya memberikan wejangan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan juga ijazah untuk keperluan hidupnya. Alhasil, kegiatan yang ia namakan “ngampus” pun harus dibagi antara rumah tangga, mengajar dan kuliah. Selama empat tahun, profesi ganda itu ia lakukan dengan penuh kesabaran dan keuletan. Ketika subuh ia harus bangun mengurusi keperluan rumah. Setelah itu ia harus mengajar di sekolah, sepulang dari sekolah menjemput anaknya, ia harus memasak makan siang untuk suami dan anaknya, barulah ia akan pergi ke kampus dengan menitipkan anaknya pada tetangga. Entah berapa kali ia harus menyambung angkutan umum agar sampai ke kampus, terkadang ia bahkan tertidur di dalam bus karena kelelahan, namun tetap saja ia lakoni kehidupannya dengan gigih. Sampai-sampai temannya menjuluki ia sebagai “gadis angkot”.

            Bukan hanya itu, sepulang dari kampus ia memiliki tanggung jawab untuk mengajar anak-anak mengaji di masjid tempat ia dan keluarganya tinggal, itu salah satu persyaratan ketika pertama kali ia dan keluarganya menginjakkan kaki di rumah itu.

            “Kalian boleh tinggal disini, hanya saja kalian harus mengurusi mesjid dan sekolah ini.” Itulah perkataan pak RT kepada mereka. Meski tidak dibayar mengurusi mesjid, mereka tetap menjalani kehidupan dengan bahagia.

***

            “Kenapa, Na?” Pertanyaan itu mengejutkan Anna dari lamunannya, duduk di depan kampus sambil memegang skripsi di tangannya.

            “Gak apa-apa, De.” Ucapnya lirih pada Ade yang sedari tadi melihatnya termenung.

            “Aku baru bimbingan dengan pak Johan, sudah hampir sepuluh kali aku bolak-balik bimbingan dengan beliau, tapi sampai sekarang skripsiku pun belum di ACC.” Raut kecewa terlihat jelas di wajah Anna.

            “Ia, Bapak itu memang terkenal pelit dengan tanda tangan, Roy saja hampir tiap hari bimbingan dengan beliau, tapi sudah 2 bulan belum juga dapat tanda tangan” sambil memegang perut buncitnya yang berusia 6 bulan Anna mengelus-elusnya.
            “Nak, kalau kamu kelak menjadi dosen, jangan pernah mempersulit mahasiswa ya, hargai kerja keras mereka,” ucap Anna lembut pada janin dalam kandungannya. Mata Ade berkaca-kaca melihat perjuangan Anna untuk terus melanjutkan kuliahnya.

            “Besok, cobalah menemuinya lagi” ucap Ade meyakinkan Anna.

            Senyum kecil Anna pun membalas ucapan Ade, seolah kata-kata itu memotivasinya agar tidak menyerah dan terus mencoba. Sesekali ia pernah berniat untuk berhenti kuliah, kegiatan demi kegiatan terus memadati waktunya, terlebih ketika ia sedang hamil tua. Namun sang suami terus mendorong Anna agar tetap menyelesaikan studinya.

            “Tanggung, Umi, tinggal selangkah lagi, nanti Abi bantu deh ngerjakan skripsinya” ucap suami Anna berulang kali untuk meyakinkan istrinya itu, bahwa ia akan selalu ada menemaninya.

***

            “Skripsi kamu ini gak relevan, pembahasannya pun tidak sesuai dengan kekinian. Kamu harus mengganti judul ini!” Perkataan Pak Johan bak petir yang menyambar secara tiba-tiba. Berulang kali Anna membaca skripsinya tadi malam untuk melihat dimana titik kesalahannya, bahkan Anna memanjatkan doa di sepertiga malam hanya untuk mendapatkan segores pena dari pembimbing. Tapi, bukannya emas yang ia dapat, malah kata-kata pedas yang harus ia telan pahit dari Pak Johan. Ia tak mampu berkata apa pun, hanya diam menanti ucapan Pak Johan yang siap meluluhlantakkan hatinya untuk kesekian kalinya.

            “Atau, kamu mau saya bantu” ucap Pak Johan yang mengeluarkan sebuah pertanyaan secara spontan di bibir Anna.

            “Maksudnya, Pak?...” tanya Anna sedikit mengernyitkan keningnya.

            “Kau paham la, biar beres urusanmu ini.” Anna mulai mencium aroma yang tidak sedap dari kata-kata Pak Johan. Ia beranikan untuk bertanya sekali lagi untuk mengisi ruang kosong dalam benaknya.

            “Biar Aku saja yang membuat skripsimu ini, Kujamin nilaimu pasti bagus, nanti biar aku yang atur dengan pembimbing kedua-mu.” Tepat sekali dugaan Anna, ternyata inilah yang selama ini menjadi misteri mengapa tidak ada satu pun mahasiswa yang cepat berurusan dengannya. Entah dapat sihir dari mana, tiba-tiba saja Anna menjawab dengan membabibuta.

            “Pak, Selama empat tahun saya naik turun angkutan untuk dapat kuliah, saya harus berbagi waktu dengan keluarga untuk dapat menimba ilmu di kampus ini, bahkan saya rela berpanas-panasan membawa anak saya demi untuk menemui bapak dan berharap mendapat tanda tangan dari bapak. Tapi, bapak malah mengajarkan saya untuk berbohong di hadapan anak saya, apa nanti yang harus saya jawab kepada anak dalam kandungan saya ketika nanti dia lahir. Saya tak sanggup pak harus membohongi keluarga saya, saya bahkan tak sanggup membohongi orang-orang yang kelak akan membaca skripsi ini. Kalaupun bapak tidak mau memberi tanda tangan, tak mengapa, namun saya tidak akan pernah membuat kebohongan terbesar dalam diri saya. Permisi pak.” Sekonyong-konyong ia meninggalkan Pak Johan di dalam ruangannya, tak ada kata apa pun yang keluar dari mulutnya, dia hanya terdiam melihat wanita berbadan dua itu berlalu dari hadapannya seakan mengajari pak Johan bagaimana semestinya bersikap dalam hidup.

            Di depan kampus Anna bertemu dengan Ade, ia menceritakan semua yang terjadi di dalam ruangan Pak Johan barusan.

            “Gila kau, Na, bagaimana nanti skripsimu, sia-sia nanti kuliahmu.” Anna tak menghiraukan lagi perkataan Ade, yang ada di pikirannya saat itu adalah memegang prinsip untuk selalu berbuat jujur, ia tak memikirkan lagi bagaimana kelanjutan kuliahnya.

            “Nanti aku usulkan saja ke Prodi untuk mengganti pembimbingku, biarlah aku memulainya dari awal lagi.” Ucapnya tegas pada Ade.

            “Mana bisa, Pak Johan itu Kepala Prodi kita, bagaimana bisa kau selamat darinya.” Ade malah menangis melihat tindakan gila yang dilakukan Anna, tapi ia tidak sedikitpun merasa bersalah, ia malah merasa melepaskan jutaan ton yang menghimpit dadanya, “apapun resikonya akan aku hadapi,” bisik hati kecil Anna.

            “Anna, tunggu!” Suara itu terdengar sesaat setelah mereka melangkahkan kaki meninggalkan kampus. Serempak mereka membalikkan wajah ke arah dari mana suara itu datang. Ternyata suara itu berasal dari Pak Johan yang datang setengah berlari menghampiri mereka. Entah kenapa jantung Anna berdegub kencang, perasaan tak enak pun mulai menggerogoti sekujur tubuhnya, Anna menatap Ade yang cemas menatapnya balik. Pikiran Anna berkecamuk, mungkin Pak Johan akan mengeluarkannya dari kampus ini, terbayang bagaimana ia harus memulai kuliahnya, menjadi seorang ibu, guru juga mahasiswa, entah sudah berapa banyak uang yang sudah ia habiskan untuk mengejar sarjana, tapi harus kandas di depan lelaki yang tak punya malu itu.

            “Anna, maafkan atas perkataan bapak tadi, bapak akui bapak salah sama kamu, mana skripsi kamu biar bapak tanda tangani, supaya besok kamu bisa daftar siding.” Heran bercampur tak percaya mendengar kata-kata Pak Johan, tak satu kata pun terucap dari bibir Anna, seperti dihipnotis ia langsung memberikan skripsinya pada Pak Johan, setelah menandatangani skripsi itu, Pak Johan pun memberikan senyuman dan berlalu dari hadapan mereka. Perlahan mereka pergi meninggalkan kampus tanpa sepatah kata pun.

            Beberapa saat setelah kejadian itu, Anna sudah menjalani sidang, dan tak lama setelah itu ia pun diwisuda. Rasa haru ia rasakan tak terhingga, ditemani anak dan suaminya menjadi sebuah kebahagaiaan yang tak bisa ia lukiskan. Hari-hari pun seolah berlalu begitu cepat, ia pun melahirkan anak ke-duanya dengan selamat.

***

            “Kenapa, Di?...” tanya Anna pada Rudi yang sedang duduk termenung di depan kampus. Beberapa bulan setelah melahirkan, ia ke kampus untuk mengambil ijazah dan transkip nilai. Terlihat jelas di wajah Rudi seperti menghadapi masalah besar.

            “Pak Johan minta aku menempah skripsi padanya.” Kata-kata Rudi berlalu begitu saja, tanpa basa-basi Anna pun berlalu meninggalkan Rudi dengan segudang pertanyaan di kepalanya.

                                                                        #Selamat wisuda, Juliana Tampubolon


Komentar