KANDAS


            “Kenapa kau melintang di jalantu...” ucap seorang penjual sayur pada pengendara betor[1]  yang sedari tadi terjebak macet di jalanan.

            “Bah, kau pikir jalan ini punya kau, sabar la,” pak becak pun tak kalah emosinya, sambil memainkan gas becaknya, tangan kirinya memencet-mencet klakson becaknya yang nyaring, makin bertambahlah kerusuhan pajak[2] itu mengisi hari yang masih gelap.

            Aku masih terbaring lelap di kamar, sehabis salat Subuh aku tidur kembali, badanku terasa pegal-pegal, karena tadi malam aku baru tiba dirumah jam pukul 02.00 WIB dini hari. Itu pun aku masuk dari jendela kamar, karena kalau aku mengetuk pintu, maka omak tidak akan membukakan pintu untukku. Untung sajalah adikku Johan masih bisa diajak kompromi untuk tidak mengunci jendela kamarku, itu pun dengan imbalan, pagi ini dia harus kutraktir lontong Mak Ijah dua piring.

            “Fazril, bangunlah nak, hari ini kan mau ospek,” sayup-sayup terdengar suara omak menyuruhku untuk bergegas ke kampus. Aku masih antara sadar dengan tidak, tapi begitu aku teringat ospek, spontan aku melompat dari tempat tidur, kulihat jam beckerku mengarah pukul 07.00 WIB, padahal aku harus tiba di kampus persis jam 07.30 WIB tidak boleh terlambat, aku pun berlari menuju kamar mandi.

            “Woy… siapa di dalam,” teriakku sambil menggedor-gedor kamar mandi, tapi tak ada jawaban.

            “Mak, siapa di dalam kamar mandi ni, aku mau kuliah, Mak, nanti kenak hukuman aku sama kakak-kakak kelas tu.”

            “Kenapa omak yang kau salahkan, sudah dari tadi subuh omak banguni kau, tapi kau tidur lagi, apa kau tak ingat pesan ayahmu, jangan terlambat bangun, nanti rejeki kau dipatuk ayam,” omak pun mrepet[3] sejadi-jadinya, “aku jadi menyesal bertanya pada omak,” lirihku dalam hati.

            Woy… bukak la, sudah tak tahan ini,” kugedor lagi pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu dilapisi seng itu. Kamar mandi pun terbuka, aku penasaran siapa yang tahan berlama-lama di dalam kamar mandi ini.

            “Prak,” pintu kamar mandi terbuka, aku tersentak, ternyata yang ada di dalam kamar mandi adalah ayah. Kulihat sepintas mata ayah memerah menatapku, aku pun tertunduk. Tapi, ayah tak berkata sepatah kata pun, hanya berlalu saja dari hadapanku.

***

            “Dimana rumahmu, dek?” tanya seorang kakak mentoring yang menghadangku di gerbang kampus ketika aku ingin memasuki barisan mahasiswa-mahasiswi baru.

            “Simpang Limun, Kak,” suaraku perlahan tak terdengar.

            “Dimana?” kali ini suaranya semakin keras, persis mengarah ke telingaku. Aku sedikit mengangkat kepala, Garlot Siregar terpampang di almamater hijaunya.

            “Simpang Limun, Kak,” kali ini jumlah mereka bertambah banyak, aku dikerumuni beberapa orang mentor yang siap untuk menghukumku. Mereka semua menertawaiku.

            “Rumahmu hanya sejengkal saja dari sini, masih bisa terlambat, macam mana kalau rumahmu jauh, maula tak sampai kau ke kampus ni,” logat Bataknya keluar bersamaan dengan air yang muncrat dari mulutnya. Aku hanya diam seribu bahasa, menanti hukuman dari mereka yang mau tidak mau harus kujalankan. Ini sudah resiko bisikku dalam hati, aku memilih kampus UISU yang hanya beberapa langkah dari rumahku karena aku tidak mau terlambat, tapi nyatanya dihari pertama aku masuk kuliah aku tidak bisa disiplin.

            Hukuman itu pun datang, aku disuruh untuk menghadap ke tiang bendera sambil menyanyikan lagu Iwak Peyek. Aku mendongkol dalam hati, kenapa harus lagu itu yang harus kunyanyikan, kenapa tidak lagu kebangsaan saja, atau lagu kepahlawanan, toh ini kan kampus bukan tempat karaoke. Namun, suara itu hanya ada di dalam hati, aku tak tahu lagi hukuman apa yang akan mereka perbuat padaku jika aku mengucapkannya di hadapan  mereka.

            Berselang beberapa waktu, ternyata ada satu orang lagi yang terlambat hari ini. Tapi anehnya dia tidak dihukum sama seperti aku, dia hanya disuruh menyanyikan sebuah lagu kesukaannya. Terdengar jelas para mentor itu mengatakan

“Dia wajar terlambat, rumahnya jauh, jadi kita kasi hukuman bernyanyi saja, setuju?”

“Setuju!” Serempak para mahasiswa baru itu mengikut saja perkataan para mentornya,  jika melawan sedikit saja, pasti mereka akan diberi hukuman.

Entah apa sebabnya, seorang perempuan datang menghampiriku berdiri persis di sampingku, juga menghadap bendera. Tapi kali ini dia menyanyikan lagu Alamat Palsunya Ayu Ting-ting. Aku senyam-senyum mendengar dia bernyanyi, suaranya sangat fals, lebih baik dia diam saja. Aku pun membuka pembicaraan

“Kenapa dihukum?” tanyaku singkat tanpa melihat wajahnya

“Aku tidak pakai kaos kaki.” Suaranya seperti kukenali, seperti taka asing lagi ditelingaku. Kuberanikan diri untuk menoleh ke arahnya.

“Ha…, Azizah!” dia pun menoleh kekiri dan menatapku, raut wajahnya juga terkejut melihatku,

“Fazril!” matanya melotot seperti tak percaya.

“Woy…siapa yang menyuruh kalian berhenti menyanyi ha?” suara itu kudengar bagai petir, tadinya hatiku berbunga-bunga melihat Azizah berada di sampingku, seketika sirna mendengar suara itu. Aku benci.

Dalam nyanyian Iwak Peyek, aku kembali menyingkap tabir masa silamku bersama Azizah. Dia adalah kekasihku semenjak SMA dulu. Namun, sewaktu menaiki kelas 12, Azizah harus meninggalkan kota Medan dan pindah ke Irian Jaya untuk bersekolah disana, karena orang tua Azizah dipindahtugaskan. Tak ada kata putus pun di antara kami, hanya saja tidak ada komunikasi setelah kepergiannya.

Mekar lagi kuntum bunga cinta yang pernah terabaikan. Aku pun dalam diam menggubah syair-syair cinta untuk kupersembahkan pada Azizah.

Laksana meniti kabut rindu

membayangkan singgasana rembulan di wajahmu

mengusik percikan cinta dahulu

sebelum tanganku melepas kepergianmu

 

Kini kau kembali keperaduanmu

balut luka lara bersama cinta

aku malu,

tapi aku memang masih merindu

 

Kusimpul erat-erat jemari cintamu

kubuka lebar-lebar pintu hatiku

membiarkan kau memeluk kerinduanku

***

Terlalu lama rasanya menunggu ospek ini selesai. Aku ingin bertemu lagi dengan Azizah, bertanya kabar, dimana dia tinggal dan masihkah dia mencintaiku lagi? Kurasa pertanyaan terakhir itu yang sangat penting. Aku malah berfikir bahwa Tuhan memberiku satu kesempatan lagi untuk merajut kisah dengan Azizah, membangun lagi cerita cinta yang sempat kandas ditelan waktu. Jadwalku akan padat minggu ini, menjemput antar Azizah kuliah, mengajaknya jalan, nonton, ah… pasti sangat indah. Aku sangat bahagia.

Kukejar Azizah yang sedari tadi seperti menunggu sesuatu di depan gerbang kampus.

“Zah, lagi nunggu apa?”

“Eh…Fazril, aku menunggu jemputan.” Tak berapa lama Azizah mengakhiri perkatannya, seorang laki-laki dengan menaiki sepeda motor Kawasaki Ninja  hitam berhenti di depan kami, tanpa membuka helm.

“Fazril, duluan ya…” singkat, Azizah berlalu dari hadapanku. Kulihat jelas dia memeluk erat pinggang lelaki yang memboncengnya. Aku hanya membalas dengan senyuman yang terpaksa keluar dari bibirku. Dan…aku pun diam. Kulangkahkan kakiku menuju pulang, pikirku berkecamuk hebat, seribu pertanyaan menderu kepalaku. Siapa dia? Pacar Azizah kah, sepupu atau malah…kucoba bernegosiasi dengan hatiku, mungkin itu sepupunya.

Beberapa hari kemudian barulah aku tahu dari teman-teman Azizah, bahwa yang sering menjemput antarnya itu adalah tunangan Azizah. Rasanya aku bagai disambar petir mendengar berita itu. Aku bahkan tidak ngampus untuk beberapa hari. Secepat itukah cinta Azizah berlalu pergi, secepat itukah dia melupakan kenangan yang pernah kami ukir bersama ataukah aku yang terlalu berharap untuk mendapatkan cintanya lagi.

 

Senyummu bukan untukku lagi

kau tinggalkan aku bersama jutaan kenangan rindu

hari-hariku berselimutkan pesona wajahmu

namun aku hanya bisa menatap ragu

secepat itukah kau berlalu

 

Azizah

kemanakah kulabuhkan bahtera rindu ini

bahkan mencari tempat bersandar pun aku tak mampu

kau telah memilihnya

dan

meningalkan aku terpuruk menatap puing-puing rindu

Azizah, cintaku kandas

 



[1] Betor singkatan dari Becak Motor, kendaraan roda tiga yang menjadi ciri khas transportasi kota Medan.

[2] Pasar basah atau pasar tradisional

[3] Ngomel


Komentar