KARENAMU EMAK


Semeraut hiruk-pikuk dunia membuatku bisu di hari ini, semua orang sibuk membicarakan kenaikan BBM, kenakalan remaja, Geng Motor, Busung Lapar, semua itu menjadi trend perbincangan para pejabat-pejabat berdasi di gedung yang gagah itu. Tapi hanya sekedar perbincangan, tak lebih, pikirku. Teriakan lapar, jeritan sakit, tak ada satu orang pun yang menghiraukan. Bahkan sebagian diantara mereka memanfaatkan jeritan-jeritan itu untuk kepentingan pribadi mereka. Membuat proposal-proposal yang mengatasnamakan rakyat jelata, anak-anak yatim, anak-anak jalanan. Setelah berhasil mendapatkan uang, mereka malah sibuk memenuhi isi kantongnya.

            Mau dikemanakan arah negara ini, para remajanya, penerus-penerus bangsanya hancur, bobrok. Namun orang-orang hanya sibuk memadati kota dengan mobil-mobil mewahnya, berlomba-lomba menjadi kaya dengan menghalalkan segala cara. Bandit-bandit berdasi itu pun seperti vampire yang menghisap darah para rakyat jelata yang tidak bersuara, namun peka penderitaan. Negara ini aneh, para koruptor dengan santainya berada di hadapan para jaksa, bahkan mereka sempat berlibur keluar negeri. Sedangkan rakyat biasa, mendekam bisu di penjara, meskipun mereka hanya mencuri sandal jepit biasa.

Terkadang aku ingin pindah saja dari kos-kosan ini. Setiap harinya aku hanya mendengarkan keributan di kamar sebelah, suami istri yang bertengkar, bahkan desahan nafas orang yang sedang berzinah terdengar jelas dari kamarku. Kamar ini kurasa seperti neraka. Tapi, apa dayaku, toh di kos ini aku tinggal gratis, karena yang punya kos-kosan kebetulan kepunyaan Ujing ku yang sudah lama merantau di kota ini. Itu pun dengan perjanjian, sehabis pulang kuliah, aku harus menjadi babu mencuci seluruh piring kotor anak-anak kos dan mencuci baju Ujing setiap harinya.

Semua itu kukerjakan dengan penuh semangat, karena setiap kali aku putus asa, aku teringat perkataan emakku yang sudah renta.

 “Rustam, jangan pulang ke kampung ini sebelum kau wisuda.” Ucapan itulah yang selalu terngiang-ngiang ditelingaku yang membuat aku menjadi semangat kembali.

Dulu, sewaktu ayah masih ada kami hidup serba berkecukupan, itu semua karena ayah mewarisi harta dari mendiang kakekku, dan juga ayah seorang pekerja keras. Namun, setelah ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya, emak, aku dan Ratna harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami. Seluruh harta warisan ayah diambil oleh pihak keluarganya, mereka menguasainya, kata mereka dulu ayah punya hutang sampai ratusan juta kepada mereka. Alhasil, karena kami semua masih kecil dan tidak tahu apa-apa, maka tidak ada perlawanan dari kami. Begitu juga dengan emak, seorang ibu yang lembut hatinya, tidak banyak bicara dan sering kali mengalah.

“Emak tidak mau ribut-ribut, biarkan sajalah kalau mereka berkata demikian, Allah kan Maha Melihat dan Maha Mendengar.” Hanya itulah kata pamungkas emak setiap kali tetangga datang untuk menasehati emak agar memperjuangkan harta kami kembali ke pengadilan.

Emak dan Ratna harus berjualan ikan setiap hari, sedangkan aku menjadi kuli sehabis pulang dari sekolah. Itu semua aku lakukan agar aku bisa kuliah dan memperbaiki ekonomi keluarga kami, sedikit demi sedikit aku menyisakan penghasilanku untuk biaya kuliah setelah aku tamat dari SMA. Aku sudah muak melihat emak sakit-sakitan, berjualan setiap hari mengais kehidupan dan juga untuk kelangsungan pendidikan adikku satu-satunya yang harus tertunda kuliah hanya untuk mengurus emak di kampung karena sudah tua. Dia mau mengorbankan pendidikannya untuk mengurusi emak. Semua itu tidak mungkin kuabaikan untuk berleha-leha di kota ini. Aku akan segera menyelesaikan kuliahku dengan baik dan akan kutunjukkan kepada orang-orang di kampung, bahwa aku bisa meski tanpa harta rebutan itu.

***

“Mahasiswa terbaik pada tahun ini adalah Rustam Efendi.” Gedung itu riuh dengan tepukan tangan para wisudawan dan keluarga yang hadir. Aku meneteskan air mata sejadi-jadinya, membayangkan perjuanganku menyelesaikan Sarjana Komputerku. Emak melihatku sedih, emak tak bisa membendung air matanya begitu juga Ratna. Ratna melambaikan tangannya padaku, rasanya aku melihat ayah diantara mereka sambil menatapku tersenyum.

“Acara selanjutnya adalah kata sambutan dari wisudawan terbaik Politeknik LP3i jurusan Teknik Informatika oleh Rustam Efendi, S.kom. Kepada wisudawan terbaik waktu dan tempat kami persilakan dengan segala hormat.” Tepukan tangan yang riuh membuatku semakin bersemangat, kuseka air mataku, aku pun melangkah dengan pasti menaiki podium. Kulihat emak menangis, aku teringat perjuangan emak harus berjualan ikan setiap hari bersama adikku demi mengais kehidupan kami. Aku selalu rindu pada emak setiap kali kudengar lagu Iwan Fals…

“Ribuan kilo, jarak yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu. Ibuku sayang, masih terus berjalan, walau tapak kaki penuh darah penuh nanah.”

Ketika itu ingin sekali rasanya aku pulang dan memeluk ibuku, meski ongkos pulang ke Tanjung Balai hanya dua puluh ribu, namun niat itu kuurungkan demi untuk kuliahku, aku tidak mau melewatkan satu mata kuliah pun. Aku bersyukur beasiswa ini menghantarkanku sampai sarjana. Bahkan, hari libur pun kuisi dengan berkerja sampingan menjaga warnet untuk kebutuhan sehari-hariku juga untuk kiriman biaya hidup emak dan Ratna.

Pidatoku kumulai dengan salam, ucapan syukur dan salawat. Semua khidmat mendengarkan aku berpidato, terlebih emak yang sedari tadi tak lekang menatapku bangga.

“Ucapan terimakasih tak terhingga kupersembahkan untuk ibundaku tercinta, yang membawaku meniti kehidupan ini mulai dari rahim sucinya sembilan bulan lamanya. Berkisar mengarungi samudera kehidupan sampai aku menjadi sarjana. Emak, penghargaan ini untukmu.” Emak menangis tersedu-sedu, aku pun tak tahan membendung gejolak kebahagaiaan saat itu. Semua orang hanya diam mendengarkan aku berpidato di atas podium. Kutelisik mata mereka berkaca-kaca, malah ada yang menangis seraya memalingkan wajahnya.

Kubacakan puisi untuk emak yang tadi malam kugubah sehabis salat Isya.

 

Karenamu Emak

Emak,

tetesan keringatmu membuka mataku

berpacu mengelilingi dunia fana

berjibaku mengalahkan kerinduan

kau pahlawanku, mak

 

Emak,

legam kulitmu dibakar mentari

tak kau hiraukan

demi anak-anak mu yang kau cintai

 

Renta tubuhmu tak kau acuhkan

demi sesuap nasi mengisi perut kami

 

Karenamu emak

kudaki gunung terjal

kurenangi lautan berombak

seperti yang kau ajarkan

karena aku mencintaimu mak

           

Kulihat tangis emak pecah bersamaan dengan pecahnya tepuk tangan yang mengisi ruangan itu. Kuakhiri pidatoku dengan salam dan langsung kukejar emak. Kupeluk dan kuciumi emak dihadapan orang-orang. Entah apa yang terpikir di benakku saat itu. Mungkin hanya aku-lah wisudawan di dunia ini yang membacakan puisi untuk ibunya. Tapi kurasa, emak pantas mendapatkan itu setelah perjuangan selama ini yang dilakukannya.

Dua bulan setelah wisuda itu aku diterima di salah satu kantor swasta sebagai staff informasi, aku bekerja semaksimal mungkin, aku ingin membuktikan bahwa sarjanaku bukan cuma isapan jempol belaka.

            Tak terasa sudah sebulan aku bekerja. Hari ini aku akan menerima gaji pertamaku. empat juta, itulah yang dijanjikan pihak perusahaan sewaktu aku interview kerja. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Gaji pertamaku akan kuberikan separuh kepada emak. Aku ingin melihat emak bangga telah berhasil memperjuangkan pendidikan anaknya. Kebetulan besok hari minggu, aku tidak masuk kerja, jadi aku akan ke pajak[1] untuk membelikan emak dan Ratna jilbab.

            Saat itu pun tiba, aku menerima gaji pertamaku. Kuhitung dengan sangat teliti, tak ingin kurang atau lebih sepeserpun. Segera aku ke pajak Central untuk membeli jilbab. Kubungkus dengan rapi, satu untuk emak dan satu lagi untuk Ratna. Di perjalanan menuju pulang, hujan turun sangat lebat, Guntur menggemuruh, petir menyambar dengan hebat. Aku tak berani pulang, segera kumatikan handphoneku, aku teringat perkataan seorang dosen yang pernah bercerita tentang kekuatan sinyal yang ada pada handphone bisa mengundang petir. Setelah hujan reda, barulah aku beranjak ke stasiun Kereta Api Sri Bilah menuju kampung halaman. Kusempatkan mampir di salah satu penjualan buku di Titi Gantung, untuk menemaniku di perjalanan. Bumi Cinta karangan Habiburrahman El-Shirazi menjadi pilihanku.

            “Tiket Ekonomi ke Tanjung Balai masih ada, mbak?”

            “Ada, untuk berapa orang, Pak?”

            “Satu orang.”

            “Tolong KTP nya,” pinta pramugari itu dengan menjulurkan tangannya. Baru-baru ini diberlakukan pembelian tiket Kereta Api dengan menunjukkan KTP, jika tidak ada maka tiket tidak akan diberikan oleh petugas. Sewaktu melewati gerbang Kereta Api pun masih diperiksa oleh petugas POLSUSKA, apabila nama yang ada di karcis tidak sesuai dengan KTP, karcis tersebut tidak akan berlaku. Menurutku sebuah peraturan yang bagus, itu semua dilakukan oleh pemerintah guna untuk menghindari calo. Toh ketika nanti ada kecelakaan terhadap penumpang, maka mereka tidak akan mendapatkan asuransi jiwa.

            Dua puluh ribu, Pak.” Pinta pramugari itu sembari memberikan tiket dan KTP.

            “Terimakasih.”

            “Sama-sama, Pak.”

            Aku tak sabar menuju pulang, rasanya kalau saja ada kendaraan yang bisa melaju cepat seperti Buroq yang dikendarai oleh Rasulullah ketika Mikraj ke langit, mungkin aku akan mengendarainya.

            Aku sengaja tidak memberitahu emak dan Ratna masalah kepulanganku, aku ingin memberikan kejutan pada mereka.

***

            “Naik becak, Bang, mau diantar kamano, ayok lah, murah sajo, Ledong, Sunge Payang, ato ka Pulo Simardan?”[2] baru saja aku tiba di Stasiun Kereta Api Tanjung Balai, para tukang ojek dan becak itu pun berlomba-lomba untuk mendapatkan penumpang.

            “Tidak, Bang, Naek RBT sajo”. Aku memilih menaiki RBT[3], selain ongkosnya lebih murah dari becak, juga cepat. Aku pun mulai memasuki kawasan kecamatan Sei. Kepayang. Sudah berpuluh tahun jalan di kecamatan ini tidak pernah bagus. Kalau musim hujan, pasti jalannya becek, berlumpur dan banjir. Tapi kalau musim kemarau, jalannya berdebu dan berlobang. Di perjalanan aku seperti menaiki kuda lantaran jalannya yang berlobang. Sudah lebih dari puluhan anggota DPR yang lolos dari kecamatan ini, namun jalannnya tidak pernah berubah, entah apa yang mereka lakukan digedung yang full ac itu.

            Persis di gang menuju rumah aku berhenti, kubayar ongkos dua puluh ribu.

            “Tarimo kasih, Bang.”

            “Samo-samo.” Jawab tukang ojek itu seraya berlalu dari hadapanku.

            Aku sedikit terkejut, di depan rumahku banyak orang, secepat kilat kulihat seorang perempuan yang tak lain adalah adikku Ratna mengejar dan memelukku sambil menangis.

            “Bang, emak sudah tiada, emak pergi meninggalkan kita, Bang.” Suara Ratna membuatku jatuh, ambruk, bersamaan dengan dua buah jilbab yang kutenteng di tangan kiriku. Jilbab yang ingin kuberikan pada emak dan Ratna. Air mataku meleleh, aku tidak dapat berkata apa-apa.

            “Emak…!” di tengah kumpulan orang-orang, aku menjerit sejadi-jadinya, semua orang melihatku terharu.

            “Kenapa tidak kasi tahu Abang, Dek?”

            “Sudah puluhan kali Ratna telpon dan sms Abang, tapi HP abang tidak aktif-aktif. Ratna bingung, Bang, entah apa yang ingin Ratna perbuat. Pak Karyo dan Pak Ucok sudah menyusul abang ke Medan, mungkin mereka baru sampai di Medan.” Ratna memelukku erat, aku baru sadar kalau HP ku sewaktu hujan tadi ku non aktifkan dan aku tidak ingat untuk mengaktifkannya kembali.

            Kulihat wajah emak cerah, tersenyum tapi matanya tertutup. Aku tidak bisa menahan tangis, baru saja emak merasakan kebahagiaan melihatku wisuda, tapi sekarang emak sudah pergi meninggalkan aku dan Ratna. Jilbab ini, gaji pertama ini, ingin kuberikan pada emak, tapi sekarang emak tidak bisa menggunakannya lagi. Dalam tangisku, aku berdoa

            “Ya, Allah, lapangkanlah kubur emak, berikan dia kemudahan dalam menjalani soal-soal di dalam kuburnya, jadikanlah perjuangannya selama ini menjadi saksi penolongnya, Amin.



[1] Pasar tradisional

[2] Naik Becak, Bang, mau diantar kemana, ayo lah, murah saja. Ledong, Sei. Kepayang, atau ke Pulau Simardan?

[3] Ojek


Komentar