KOTUK LARUNG


            Peti bersegi empat itu berjalan setengah terburu, hijau bertuliskan kalimat sahadat di sampingnya. Para pengusung seperti berkomat-kamit membacakan sesuatu, terdengar tidak jelas. Para tetua, keluarga, berduyun-duyun memadati jalanan menuju Mesjid Al-Hidayah. Pak Kumar, dukun sakti itu meninggal pagi tadi.

            Sesaat sebelum Pak Kumar meninggal, terdengar bunyi Kotuk Larung di atas rumahnya. Warga pun geger mendengar bunyi itu. Tak ada warga yang berani keluar rumah, semua pintu dan jendela ditutup rapat oleh seluruh warga Sublummaut. Kampung itu sunyi, di jalan hanya ada angin yang menerbangkan debu tak menentu, padahal mentari baru saja menampakkan wujudnya.

            Kotuk Larung berbunyi lagi, warga semakin ketakutan, seolah mempertanyakan diri masing-masing, siapa yang akan meninggal pagi ini?. Misteri itu pun terjawab ketika Bu Surti istri pak Kumar menjerit keluar rumah meminta tolong. Barulah warga bertebaran menuju rumah pak Kumar ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi, seperti memastikan sesuatu. Entah harus bahagia atau berduka, para warga merasa lega mendengar kabar kematian pak Kumar. Rasa penasaran tak lagi menyelimuti keluarga mereka, karena bunyi Kotuk Larung itu menandakan kematian pak Kumar, bukan sanak famili mereka.

***

            “Assalamu’alaikum” suara itu membangunkanku, mengutuk dalam hati mengapa terlalu cepat aku bangun, padahal tadi malam aku terpaksa begadang di kediaman pak Kumar, takziah malam terakhir. Terdengar ibu menjawab sambil berlari mendapati pintu.

            “Wa’alaikum salam, eh nak Ibnu, ada apa kok pagi-pagi sudah kemari?” setelah itu tak kudengar lagi percakapan ibu dengan Ibnu. Aku ingin melanjutkan tidurku, pak Somat terlalu panjang lebar menceritakan misteri Kotuk Larung kepada kami, tadi malam. Tak ada satu pun dari kami yang berani pulang ke rumah, dengan sangat terpaksa kami harus menginap di rumah pak Kumar, karena anak pak Kumar juga teman kami.

            “Setiap kali Kotuk Larung berbunyi, pasti ada orang yang meninggal, tidak hitungan jam, paling lama hitungan hari.” Bulu kudukku merinding mendengar keterangan pak Somat, mata kami lekat menatap orang tua itu bercerita sambil memelintir kumisnya yang panjang. Aku teringat sewaktu ayah meninggal dulu. Kami semua masih kecil, bahkan kami belum mengerti apa itu Kotuk Larung.

            Malam itu, ayah pulang kenduri dari kerabat jauh kami. Tak berapa lama ayah bercerita dengan ibu, terdengar suara yang membuat kami semua berlari menghampiri ibu.

            “Bu, itu suara apa?” Serempak aku, Andi dan Dona bertanya pada ibu. Ibu tidak menjawab apa pun, di wajah ibu dan ayah hanya terlihat gurat ketakutan. Tanpa menjawab pertanyaan kami, ibu menyuruh kami segera tidur. Keesokan harinya aku melihat ayah terbujur kaku, wajahnya pucat dibalut kain berwarna putih. Aku belum mengerti arti kehilangan, aku pun ikut menangis mengikuti seluruh keluarga yang mengerumuni jenazah ayah. Setelah pagi itu, hari-hari kami lalui tanpa seorang ayah.

***

            “Baru bangun, Yud?” Sapa Ibnu sewaktu aku keluar dari kamar. Aku hanya membalas dengan senyuman dan berlalu menuju kamar mandi.

            “Yud, cepat mandi ya aku mau ngajak kamu ketemu abangku yang baru pulang dari Mesir.” Aku baru ingat kalau Ibnu punya kakak paling tua yang sudah lima tahun kuliah di Mesir, mungkin sekarang baru pulang. Setelah mandi dan sarapan. Kami pergi menuju rumah Ibnu untuk bertemu dengan bang Ramli, mungkin setelah itu kami akan pergi ke rumah Nita untuk mengerjakan tugas kelompok.

            Persis setelah kami tiba di rumah Ibnu, terdengar suara yang tak asing lagi di telinga kami. Perlahan aku dan Ibnu mendongakkan kepala melihat ke arah suara itu berasal.

            “Kotuk Larung.” tanpa basa basi kami berlari mendapatkan rumah dan sesegera mungkin menutup pintu.

            “Kalian kenapa, mengapa pintunya ditutup?” bang Ramli menghampiri kami berdua, ketika akan membuka pintu kembali serempak kami menjerit.

            “Jangan…, di luar ada Kotuk Larung!”

            “Jadi, memangnya kenapa kalau Kotuk Larung?” tanya bang Ramli membuat kami penasaran. Dia sudah pasti tahu misteri Kotuk Larung itu, tapi mengapa seolah dia tidak merasa takut, apa karena terlalu lama di Mesir membuat ketakutan selama ini hilang. Ah…tak mungkin, bisik hatiku. Kotuk Larung itu sakti, semua orang takut padanya, kenapa malah bang Ramli seolah menganggap Kotuk Larung sepele.

            “Bang, Kotuk Larung berbunyi di atas rumah kita.” Ibnu menjelaskan dengan tergopoh, mungkin yang ada di pikirannya siapa yang akan diambil dari keluarganya, seperti kata pak Somat, hanya hitungan jam, paling lama hitungan hari maka akan ada yang meninggal.

            “yang menghidupkan dan mematikan manusia itu hanyalah Allah, kita tidak perlu percaya kepada selain itu, kalau memang sudah ajal, semua orang pasti akan mati juga.” bang Ramli menjelaskan panjang lebar kepada kami, namun kami tetap takut.

            “Jadi, kenapa setiap kali Kotuk Larung berbunyi, ada saja yang meninggal?”

            “Mungkin itu hanya sebuah pertanda saja, bisa saja itu pertanda dari Malaikat Ijrail yang ingin mencabut nyawa manusia, mengapa kita mesti takut?” kami hanya terdiam mendengar penjelasan itu, aku masih takut tak berkutik dari belakang pintu.

            “Abang gak takut Kotuk Larung?” Ibnu menambah pertanyaannya.

            “Abang hanya takut sama Allah, karena Allah juga yang telah menciptakan Kotuk Larung itu, kapan pun dan dimana pun, kalau sudah ajal menjemput, tak ada satu orang pun yang dapat menawar-nawarnya.” Bang Ramli semakin meyakinkan kami akan misteri Kotuk Larung itu. Kami semakin yakin dengan keterangan bang Ramli, terlebih sewaktu dia membacakan ayat Alquran yang menjelaskan tentang ajal manusia. Perlahan, aku pun bisa bernapas dengan lega.

            Hanya berselang detik, Kotuk Larung berbunyi lagi dengan lantang, kembali lagi kami ketakutan tak berani keluar. Sambil menggeleng-gelengkan kepala bang Ramli bertanya kepada kami.

            “Bagaimana kalau kita makan saja Kotuk Larungnya?” Kulihat bang Ramli berlalu dari hadapan kami menuju kamarnya. Kami terkejut melihat bang Ramli membawa sebuah senapan angin di tangannya, dengan langkah pasti membuka pintu. Aku belum paham apa yang akan dilakukan oleh bang Ramli, pertanyaan itu pun terjawab ketika kami melihat bang Ramli mengacungkan Senapan angin itu ke arah atap rumah, persis menghadap Kotuk Larung.

            “Abang, mau apa?”

            “Mau makan Kotuk Larung, sepertinya enak kalau digoreng” entah itu celoteh atau apa aku tak percaya mendengar kalimat bang Ramli itu. Seperti berkomat-kamit, bang Ramli siap menekan pelatuk senapannya.

            “Door…” Persis mengenai Kotuk Larung, jatuh menggelinding di atas atap, perlahan jatuh ke tanah. Kuperhatikan dengan jelas Kotuk Larung itu, tak ingin ketinggalan satu ruas pun dari tubuhnya.

            “Ini yang kalian takuti itu?” bang Ramli puas melihat Kotuk Larung itu berdarah, namun aku dan Ibnu seperti melihat kematian di atas kematian Kotuk Larung itu. Bang Ramli pun berlalu dari hadapan kami menuju dapur, mungkin benar yang ia katakan tadi, ingin menggoreng Kotuk Larung.

***

            “Ibu dari mana?” tanyaku sedikit heran melihat ibu yang cepat-cepat menutup pintu.

            “Abang Ibnu yang baru pulang dari Mesir itu meninggal, Yud, katanya jatuh dari kamar mandi.” Kata-kata ibu itu mengejutkanku, bungkam mengingat burung kematian itu, Kotuk Larung.  


 


Komentar

Angel X-IBB mengatakan…
Angel XI IBB

Ceritanya menarik. Kotuk larung yang dikatakan di cerita tersebut itu burung hantu ya pak ?
Vyonne mengatakan…
Vyonne XI IBB

Cerita nya sangat menarik tapi menakutkan sepertinya soalnya kotak laruk pas mati digoreng pula mayat nya sama bang ramli
Cruis mengatakan…
Ceritanya menarik dan menaikkan suasana tegang, takut, dan khawatir.
Unknown mengatakan…
Adelyn Clarence XI MIPA 2

Ceritanya sangat unik dan menarik, serta menegangkan di akhir cerita. Saya juga mau tanya pak, sebenarnya burung kotuk larung ini ada di dunia ini? jika ada itu burung seperti apa ya? terimakasih pak
Unknown mengatakan…
Menurut saya ceritanya menarik. Ceritanya membuat saya penasaran akan kelanjutanyya.
Unknown mengatakan…
Charys Lieca XI MIPA 2
Unknown mengatakan…
Erwin Yoe XI IPS 3
Ceritanya sangat bagus,seolah olah membuat para pembaca mengikuti alur cerita dan ikut berhalusinasi seakan akan ini nyata dan membuat khawatir juga, cerita yg menarik👍
Unknown mengatakan…
Feny Xl IPS 3
Ceritanya menarik juga menakutkan, apa itu kotuk larung ? Dan bagian akhir cerita sangat menegangkan
Unknown mengatakan…
Deky XI IPS 3
ceritanya menarik,seru dan tidak membosankan
Anonymous mengatakan…
Albert Wirayanto XI IPS 3
Ceritanya unik dan seru, sedikit menyeramkan
Al Hilal Siagian mengatakan…
Terima kasih atas responsnya.