“Dasar anak tak punya otak, anak
kurang ajar, sok pintar, sudah tahu keluarga miskin, bapak sakit-sakitan,
adik-adik masih banyak, tetap saja mau kuliah.” Deretan kata-kata itu pecah bak
beling yang menyayat-nyatat hatiku di pagi ini. Masih kuingat wajah bengis yang
membisukan mulutku, tak terucap apa pun. Hanya tetesan air mata perlahan
mengalir seakan ingin bersarang di pualam pipiku. Dada terasa sesak, menghimpit
bak beribu-ribu ton persis di ulu hati. Semua itu bermula pada keinginanku
untuk kuliah.
Aku berlari kecil mendapati rumah,
seorang wanita paruh baya mellihatku berlari sambil menutup mulut, seolah
berjuta pertanyaan bersarang di atas kepalanya.
“Kenapa, nak? Mengapa kamu
menangis?” Tanpa basa basi, aku memeluk ibu dan menumpahkan tangisku persis di
bahunya. Ibu semakin bingung melihat sikapku yang penuh dengan tanda tanya dan
mendekapku heran, seakan raut wajahnya ingin mengikuti pipiku yang basah.
“Kenapa, Nak?” Pertanyaan itu
terulang lagi, membangunkanku dalam tangis yang dalam. Perlahan sambil terisak
kutatap mata ibu yang mulai berkaca-kaca melihatku penuh tanya. Sambil terisak,
kucoba menceritakan omongan tetangga yang mencerca tekadku yang ingin kuliah.
Ibu pun memelukku sambil menangis, seakan berbagi kekuatan lewat pelukannya
yang hangat, lekat dengan senyumnya di sela-sela air mata yang terus menetes.
“Jangan hiraukan mereka, nak!,
Majulah terus, jangan pernah mundur.” Kata-kata itu seperti sihir yang membuat
semangatku menggebu-gebu. Kuseka air mataku perlahan berjalan memasuki rumah.
Di sudut ruangan itu kutatap seorang lelaki tua yang sedang berbaring
menghadapi pertarungan dengan rasa sakit. Terbayang kembali tragedi pertama
kali bapak terkena struk, saat-saat kami semua membutuhkan perhatian dari
seorang ayah, tapi ternyata Allah berkehendak lain padanya.
Pagi itu, saat semua orang di dalam
rumah sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah, terdengar sebuah
jeritan di dalam kamar mandi, spontan kami berlari ke arah jeritan itu.
“Cobaan apa lagi yang Kau berikan
padaku ya Allah…”
Suara
bapak serak diikuti tangis yang membuat kami semua ikut menangis. Separuh tubuh
bapak lumpuh tak bisa digerakkan. Hari demi hari penyakit bapak tak kunjung
sembuh, bahkan beberapa bulan setelah kejadian itu seluruh tubuh bapak tak bisa
digerakkan. Allah hanya menyisakan lidah yang masih bisa berbicara dengan
lancar. Disaat kami membutuhkan dukungan orang tua untuk membiayai sekolah,
disaat itu pula, Allah memberikan cobaan pada kami semua.
Semenjak kejadian itu, kami semua
bertekad harus melanjutkan sekolah, terlebih aku sebagai anak tertua yang harus
berjuang untuk menyemangati ibu dan adik-adikku. Mulai dari berjualan kue,
membantu ibu berjualan di rumah, sampai aku harus bekerja di rumah orang lain
untuk sekedar membantu pekerjaan rumah, semua itu kulakukan untuk dapat
melanjutkan sekolah.
Begitulah waktu berjalan selama lima
tahun. Berbagai kesulitan hidup tak lagi menjadi lawan yang mesti kami
jinakkan, tapi menjadi sahabat yang menemani kami menapaki hidup dari waktu ke
waktu. Sekarang adik-adikku sudah tumbuh besar, sebentar lagi aku pun akan
menyelesaikan kuliahku. Alhamdulilah di sela-sela perkuliahanku dan adikku, kami
mendapat tawaran mengajar di sekolah.
Lima
tahun sudah bapak hanya terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit
kamar yang perlahan melapuk ditemani jaring laba-laba yang menjuntai tak menentu.
Sesekali ibu menyenderkan bapak di atas dipannya hanya sekedar berubah posisi.
Kutatap sejenak wajah ibuku yang cantik itu, wanita yang setia mendampingi
bapak saat bapak tak mampu menunaikan kewajibannya sebagai seorang kepala rumah
tangga, wanita super yang mampu menopang keluarga dengan penuh pengorbanan,
meski berjalan timpang dengan ketiadaan bapak di sisinya, ibu tetap tegar bak
batu karang di tengah lautan yang diterjang ombak.
Kami
beruntung memiliki ibu secantik dan setegar itu, banyak kisah yang kudengar
seorang ibu pergi menginggalkan keluarganya disaat keluarga itu susah, bahkan
beberapa waktu yang lalu aku membaca kisah seorang anak bernama Jang Da yang
mengasuh ayahnya sendirian karena sakit-sakitan dan ditinggal pergi oleh
ibunya. Tapi begitulah mestinya seorang ibu, memiliki hati yang lembut seperti
kapas, tapi berprinsip tegar bak karang diterjang ombak. Kalau saja ibuku sama
seperti ibu-ibu yang lemah itu, entah bagaimana kiranya nasib kami semua.
Sering
kali bapak terbawa emosi dan marah kepada ibu, mungkin karena terlalu lelah
membawa sakit yang tak kunjung sehat, namun ibu tetap saja menyembunyikan air
matanya di balik senyum lembutnya itu, memupuk kemarahan bapak di sebuah pohon
bernama sabar dan menghasilkan buah
keikhlasan yang dipersembahkan untuk kami mencicipinya.
***
Kulangkahkan kakiku dari rumah
dengan mengucap bismillah. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah
dalam hidupku, setelah semalaman aku membolak-balik skripsi yang kugarap
beberapa bulan yang lalu, akhirnya akan kupertanggungjawabkan di hadapan dosen
penguji. Dengan doa kedua orang tua, aku berangkat ke kampus. Setibanya di
kampus, teman-teman yang lain sudah banyak yang datang, ada yang
berbincang-bincang, ada yang serius membaca skripsi, namun ada juga yang
bersikap santai seolah tak akan terjadi apa-apa.
Aku, dengan skripsi di tanganku
menatap sekumpulan teman-teman yang memadati ruangan kampus. Perasaan senang,
susah dan gelisah bercampur aduk menjadi satu. Perlahan kubuka skripsiku dan
membaca poin-poin penting yang menurutku akan ditanyakan dosen penguji. Setelah
acara sidang dibuka, detak jantungku pun mulai tak menentu, sampai akhirnya
namaku dipanggil untuk menghadapi empat dosen penguji. Satu persatu kujawab
pertanyaan demi pertanyaan yang mereka ajukan, sampai akhirnya aku selesai
disidang. Perasaan yang berkecamuk itu perlahan mulai surut, seperti surutnya
pasang yang kembali ditarik lautan untuk kembali ke peraduannya.
Tiba saatnya pengumuman hasil sidang
dibacakan, kembali lagi degub jantung tak karuan itu menghampiri sekujur
tubuhku, menghantarkan pasang kembali lagi ke tepian pantai dan siap kembali
bermain-main dengan ombak. Satu persatu nama kami mulai disebutkan, tak sabar
aku menanti namaku dipanggil dan dinyatakan lulus atau tidak.
Akhirnya, nama itu dipanggil juga
dengan cumlaude di belakangnya. Tepukan tangan kawan-kawan menyatu
dengan tetesan air mataku, berakhir sudah semua perjuanganku untuk mendapatkan
sarjanaku, terbayang kembali pahitnya menjalani kehidupan berjibaku dengan
kesusahan setiap hari, membayangkan bapak yang terbaring selama lima tahun,
melihat kesabaran ibu yang tak kenal lelah memberikan kami semangat, terutama
kepada bapak agar sabar menjalani ujian dari Allah. Sampai akhirnya di
tahun-tahun terakhir Allah perlahan menjawab kesabaran bapak dengan dititipkan
kembali kesehatan. Perlahan, keadaan bapak pun membaik dan bisa beraktivitas
sepeti biasanya, meskipun harus dipapah oleh ibu.
Setelah semua urusan akademik
selesai, aku segera melangkah pulang. Tak sabar rasanya aku ingin memeluk ibu,
menumpahkan segala isi hatiku bahwa aku bisa melewati semuanya dan
menghadiahinya sarjanaku. Mungkin bagi kebanyakan orang sarjana bukanlah sebuah
pencapaian yang sulit, hanya hitungan tahun sebuah gelar pun dapat disandang,
malah ada pula sarjana alam gaib, entah kapan kuliah, tiba-tiba sudah ada di
hari wisuda. Tapi bagiku, hal itu merupakan buah yang selama ini kupupuk dengan
jirih payah, menghitung hari demi hari, memeras keringat bahkan hampir
melupakan masa remajaku yang mestinya bergaul dengan teman-teman. Hari ini, aku
menikmati buah itu dan akan kupersembahkan kepada ibu dan bapakku tercinta.
“Mamak!” teriakku sambil berlari
kecil mengejar ibu dan adikku yang sedari tadi menunggu kehadiranku.
Tangisku pecah dalam dekapan hangat
ibuku, dekapan yang menguatkan aku dikala aku kehilangan semangat, dekapan yang
menguatkan aku dikala bibirku tak bisa berbicara ketika tetangga mencibirku.
Ingin rasanya kukatakan pada tetangga yang mencibirku itu bahwa aku memang
miskin dengan bapak yang sakit-sakitan, tapi aku memiliki keluarga yang kaya akan cinta dan kasih sayang yang
menjadikan aku tegar dalam menghadapi hidup. semakin erat kupeluk, ibu pun
menangis haru melihat anaknya berhasil meraih gelar sarjana. Kutatap wajah
adikku, Ningsih.
“Dek, kakak sudah menyelesaikan
sarjana, sekarang giliranmu, kakak akan selalu ada di belakangmu, kita pasti
bisa menghadapinya!” ucapku dengan penuh semangat.
Kuhadapkan diriku pada sang Khalik,
bersimpuh menyerahkan diri sembari bersyukur dengan segala nikmat yang tak
terhingga, sampai sekarang aku bisa menikmati hidup dengan bahagia dengan
keluargaku, karena kutahu Allah selalu menuntunku di setiap langkah yang
kujalani.
Komentar