Diksiku habis, mengikis di tengah genangan air mata Ibu Pertiwi. Menjerit, sempit, melilit, terdengar jelas teriakan ketakutan yang sengit. Cakrawala seolah enggan bercengkerama dalam irama. Butala semakin menua di tengah problematika luka dan air mata. Negeriku, dukamu kian menganga. Semburat senyum yang dulu berpendar. Kini menghilang di hujung dermaga nestapa. Takut dan lapar meraung dalam sketsa semesta. Negeriku, kemana lagi kularungkan memoar luka ini? Lalu, tetiba kau hadir melucut rentetan cerita luka. Membawa asa menyeka air mata. Menggendong jutaan cerita duka. Meski banyak yang curiga dan mencerca. Engkau tetap menghidupi dalam malam-malam gempita. Kusebut kau “Pajak” meski tanpa sajak. Kusebut kau “Pahlawan” meski kadang tak dianggap kawan. Negeriku, bangkitlah!. Penawarmu telah kembali. Tersenyumlah! Lukamu telah terobati.
Komentar