PASCA ELEGI STAGNASI



Kau adalah rentetan kata yang menghilang bersama deru nafas sang fajar. Saat itu, musim tak lagi sama, tetiba datang lalu pergi begitu saja. Seperti kau dan segala ego yang mengakar di jiwamu. Seumpama rasa namun tak bisa kudekap dalam raga, nisbi. Sadarkah bahwa perjalanan ini terasa berat? Waktu melambat, denyut kehilangan irama, rotasi memupus arah, perlahan kau pun pergi tanpa permisi. Aku pasrah mengeja retorika dan estetika. Melulu menjadi abu dalam imajinasi yang kelabu. Sesekali mengesumba di ufuk dermaga yang kelebu. Setiap detik menjadi detak yang selalu kusambangi di tepian hati. Kau begitu puas menatapku ringkih menyeret luka yang tertatih. Dingin, tapi bagiku beku adalah sendu yang terukir bersama rentetan masa lalu. Kadang kupikir delusi ini melambat atau memang fatamorgana. Meski kau begitu memesona di antara ihwal tanpa nama. Bagiku ibarat selaksa lampau yang memukau namun tak bisa kujangkau. Biar kularungkan saja semua kisah dramatis ini di hujung dermaga yang skeptis. Menanti musim ini berganti menjadi orakel kisah pasca elegi stagnasi.
x

Komentar