Sebuah hasil dari penelitian
Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan bahwa, budaya
literasi masyarakat Indonesia pada 2012 menjadi terburuk kedua dari 65 negara
yang diteliti di dunia. Negara kita, Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65
negara tersebut.
Penelitian yang sama
juga mengungkapkan bahwa posisi membaca siswa Indonesia berada di urutan ke 57
dari 65 negara yang menjadi objek penelitian. PISA menyebutkan bahwa tidak ada
satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya
0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di
bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu. Ini menjadi PR penting di
negara kita.
Terang saja, Indonesia
berada pada lampu merah dalam hal literasi. Lalu, apa literasi itu sebenarnya?
Bahkan acap kali kita mendengar istilah GLN (Gerakan Literasi Nasional ) atau
GLS (Gerakan Literasi Sekolah). Gerakan literasi merupakan salah satu bentuk
penumbuhan budi pekerti atau pendidikan karakter. Tertuang dalam Permendikbud
nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Bentuk gerakan literasi di
sekolah antara lain; pembiasaan membaca buku nonteks 15 menit sebelum
pembelajaran, membuat pojok baca, membuat pohon literasi, majalah dinding
(mading), laporan bacaan buku, dan sebagainya.
Ada 6 (enam) jenis
literasi dasar, yaitu; (1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3)
literasi sains, (4) literasi finansial, (5) literasi sains digital, dan (6)
literasi budaya dan kewargaan. Kalau keenam literasi literasi ini mau
dikerucutkan lagi, maka literasi baca-tulis menjadi literasi yang paling utama.
Dalam Gerakan Literasi Nasional, literasi
baca-tulis menjadi lapisan fundamental yang harus dikuasai. Karena, literasi
baca-tulis merupakan literasi paling awal yang dikenal dalam sejarah peradaban
manusia. Bukan hanya bisa membaca dan menulis saja, tapi “cakap” dalam memilih
bahan bacaan dan memfilter informasi dari hasil dari bacaan tersebut. Serta
dapat mengimplementasikan hasil bacaan menjadi sebuah tulisan yang memiliki nilai-nilai
positif di dalamnya.
Menurut Deklarasi
UNESCO menyebutkan bahwa literasi baca-tulis terkait pula dengan kemampuan
untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara
efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk
mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki
tiap individu khususnya di Indonesia sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam
masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia
yang menyangkut pembelajaran sepanjang hayat. Intinya, literasi bukan hanya
sekedar membaca dan menulis, tapi ada sebuah proses kolaborasi pemikiran dengan
praktik hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya.
Lalu, seberapa
pentingkah kecakapan literasi baca-tulis ini untuk membentuk kecakapan di abad
ke-21 ini? Maka sasaran utama dalam hal ini adalah peserta didik. Mari kita
tinjau sedikit pasca digulirkannya kurikulum 2013 yang notabenenya hadir untuk
memberikan kecapakan abad 21 kepada peserta didik. Hal ini mendasari dengan tuntutan
zaman yang semakin ketat dan kompetitif dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia.
Ada empat hal yang
mendasar dalam kecakapan abad 21. Pertama, Critical Thngking Skill atau
kemampuan berpikir kritis. Kemampuan ini mencakup pembelajaran berbasis
masalah, penyelesaian masalah, dan projek. Dalam cakupan ini kita akan sering
mendengar pertanyaan-pertanyaan bertaraf HOTS (Hight Other Thingking Skill).
Para peserta didik harus menggunakan cara berfikir yang objektif untuk
mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Siswa dipancing untuk
berpikir kritis terhadap permasalahan yang muncul di dalam situasi
pembelajaran, tidak hanya duduk diam di kelas.
Kedua, creativity.
Sebagai tenaga pendidik, seorang guru harus mampu memberikan space
kepada siswa agar ruang kreativitasnya tidak terbatasi. Karena ketika seorang
guru membatasi kreativitas anak, secara otomatis kita telah membatasi
kemampuannya untuk berkembang. Dan yang lebih penting adalah memberikan
apresiasi baik itu kecil ataupun besar setiap kegiatan atau peran siswa dalam
mengembangkan kreativitasnya.
Ketiga adalah communication.
Kemajuan zaman sudah melewati ruang dan waktu. Teknologi menjadi kebutuhan
primer setiap individu. Sedangkan komunikasi sendiri menjadi penghantar atau penghubung
individu dengan lingkungannya, bahkan sekarang jarak antar negara bisa
dilampaui hanya dengan jaringan internet. Kehadiran teknologi ini hendaknya
digunakan sebaik-baiknya, sehingga kemajuan teknologi untuk berkomunikasi
menjadi sahabat dalam hidup, meskipun harus pandai-pandai memanfaatkan pisau
bermata dua ini.
Keempat adalah collaboratioan.
Kolaborasi mengajarkan untuk memahami bahwa hidup tidak bisa sendiri. Kita
perlu orang lain untuk menjadikan aktivitas secara efisien dan efektif. Kolaborasi
muncul untuk menghadirkan kemampuan bersosialisasi dengan pengendalian diri
dalam memahami arti penting sebuah tanggungjawab dan peduli terhadap orang
lain.
Keempat kompetensi di
atas menjadi konsep fundamental dalam menghadapi perkembangan zaman di abad 21
ini. Jika kecakapan literasi tidak memadai untuk mengcover kompetensi di
atas, maka mustahil negara kita akan berkembang dan maju. Sebab, jika kecapakan
literasi baca-tulis sudah membumi, maka secara otomatis, taraf hidup dan
intelektual bangsa kita akan semakin meningkat.
Cakap dalam berliterasi
(baca-tulis) berarti memahami secara utuh arti penting ilmu pengetahuan.
Sedangkan bersinergi dengan perkembangan zaman menjadikan hidup tertuntun dan
tidak mudah goyah. Kualitas literasi
baca-tulis yang baik, menentukan kualitas hidup yang baik pula.
Komentar