Pagi itu aku masih berada di kamar. Bertelungkup menghadap ke arah jendela yang dilapisi terali berwarna putih bersih, kontras dengan bunga mawar merah yang sengaja kutata di samping meja belajarku. Aku masih bersama untaian kata Andrea Hirata di dalam Orang-orang Biasa yang baru kubeli, kemarin. Meskipun berulang kali kudengar bel rumah berbunyi, namun tak kuhiraukan. Entah kenapa, aku selalu terpesona dengan bahasa yang digunakan Andrea Hirata, sederhana namun menyentuh jiwa, bahkan seolah aku berada di dalam ceritanya.
Astagfirullah, apakah aku berdosa jika terpesona
dengan kata-kata? Apakah salah jika jatuh cinta pada pena-pena yang m
engembara di hati pembaca? Tapi bukankah syair yang mengatakan inna minal bayani la syihron[1] sudah terpatri sejak manusia terlahir ke dunia? Jika iya, semoga Allah mengampuni dosaku. Sebab, sejak SMA sudah kudekap karangan anak Belitung itu.
“Aliya, pacar kamu datang!” Teriak Bunda dari lantai bawah.
“Iya, Bunda.” Aku langsung berlari menuju ruang tamu. Itu pasti Shafira, sahabatku. Bunda sering mengatakan Shafira pacarku, sebab di mana ada aku, pasti ada dia. Tadi malam ia ingin menceritakan sesuatu padaku, tapi dia memintaku untuk bersabar sampai besok paginya.
“Kok cepet sekali, kamu ngak mandi, ya?” Ucapku sedikit mengejek Shafira sambil menggandeng tangannya untuk naik ke kamarku.
“Shafira, sarapan dulu, sekalian sama Aliya. Bunda mau ke pasar. Kalian jaga rumah ya!”
“Iya, Bunda.” Kami menjawab serempak. Setelah sarapan, aku langsung mengajak Shafira naik ke kamarku. Aku sudah tidak sabar mendengar apa yang ingin diceritakannya padaku.
“Aku punya teman, namanya Afnan, ia mau bekenalan dengan kamu, aku sering bilang kalau kamu suka baca buku, jadi dia ingin kenal denganmu. Bagaimana?” Safira melotot ke arahku.
“Ya, selagi itu wanita dan ingin berniat baik, aku tak masalah.” Ucapku sambil menaikkan kedua bahuku.
“Jadi, ini yang mau kau ceritakan padaku? Yeeey…Kupikir ada buku baru atau ada seminar menulis, atau aku diundang jadi pewara di fakultasmu?” Shafira hanya tersenyum melihatku. Seharian kami hanya membaca buku, Shafira sama denganku, pecinta buku.
***
“Asalamualaikum, Ukhti[2], perkenalkan, ana[3] Afnan, ana dari Fakultas Tarbiyah.” Sambil menjulurkan tangannya.
“Ana Aliya dari Fakultas Syariah.” Dia tersenyum kepadaku, manis sekali, pikirku. Lalu kami berbincang mengenai buku-buku yang kami baca. Jika aku sangat mengidolakan Andrea Hirata, ia malah suka dengan diksi-diksinya Tere Liye. Ya, Tere Liye memang sangat indah menggubah kata-kata yang dapat menyihir para pembaca.
Kumandang azan bergema di langit kampus. Kami berdua menuju masjid untuk segera salat zuhur. Setelah salat, Afnan bertanya padaku.
“Kak Aliya cantik, saya boleh menginap di rumah kakak?” Dia memegang tanganku, paras wajahnya yang lembut sangat indah dibalut mukena merah muda yang membalut sekujur auratnya.
“Ehm…bagaimana, ya, ana tanya bunda dulu, ya?” Ucapku sambil mengambil gadget di dalam tas.
“Bunda, temen Aliya mau nginap di rumah, boleh?” Bunda hanya menegaskan bahwa jika dia perempuan dan berniat baik, rumah selalu terbuka. Kutatap wajah Afnan, sambil mengedipkan mata kiriku dan mengangkat tangan kanan dengan memberi isyarat oke.
***
“Afnan mau minum apa?” Ucapku basa-basi pada teman yang baru kukenal itu. Selama ini, aku tidak pernah mengajak siapapun untuk bermalam di rumah. Bahkan sahabatku Shafira tak pernah menginap di rumah. Namun entah kenapa, Afnan seperti wanita spesial yang tiba-tiba datang dalam kehidupanku, lalu akrab hanya hitungan jam saja. Sesekali aku berfikir, bahwa buku ternyata bisa menyatukan silaturahmi yang tak pernah di duga sebelumnya.
“Syukron, ukhti.[4]” Ucap Afnan setelah kubuatkan es jeruk padanya. Lalu, kami berbincang-bincang tentang semua hal dalam keluargaku. Tentang ibu yang berjualan sembako di pasar, tentang adikku, Humairah yang sedang belajar di pesantren dan tentang ayah yang sudah lama meninggal.
“Ayah adalah seorang lelaki yang baik.” Ucapku mengawali perbincangan dengan Afnan tentang ayah, sambil menunjuk foto ayah yang ada di dinding.
“Setiap hari ayah mengajar di madrasah tempatku dulu sekolah. Ayah seorang guru Agama Islam. Setiap hari ayah selalu memboncengku dan Humariah dengan motor kesayangannya, namun pada suatu hari …” Aku tak sanggup meneruskan kisah ayah, sebab sesak rasanya dada ini jika mengingat hari itu.
“Ayah kecelakaan sewaktu ingin menjemput ibu di pasar.” Tiba-tiba suasana hening. Air mataku menetes tanpa permisi. Afnan memeluk dan sedikit mengusap punggungku. Terasa damai pelukan itu, dapat menenangkan hati, seperti dekapan seorang ibu.
Sebenarnya, aku ingin bertanya kepada Afnan, kenapa tiba-tiba saja ia ingin berkenalan denganku dan ingin menginap di rumah. Padahal, aku adalah orang baru baginya, begitu juga dia adalah orang pertama yang menginap di rumahku. Namun, tak sopan jika bertanya pada tamu tentang tujuan kedatangannya sebelum tiga hari. Ya, begitulah ayah dan bunda mengajari kami.
***
Entah kenapa aku merasa setiap gerak-gerikku selalu diperhatikan oleh Afnan. Sewaktu mengambil air wudu, salat, mengaji, membaca, bahkan semua kegiatanku sehari ini selalu diperhatikan olehnya. Aku hanya membalas senyumannya sedikit canggung sesekali tak sengaja bertatap muka dengannya. Bahkan, hari ini, ia juga memperhatikanku sewaktu memasak nasi goreng untuknya.
“Alhamdulillah, enak sekali masakan ukhti.” Ucapnya memuji nasi gorengku. Padahal menurutku itu nasi goreng biasa yang selalu kumasak untuk membantu bunda. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan melanjutkan makan.
“Terima kasih, ukhti, sudah mengizinkan saya menginap di sini. Semoga pertemanan kita ini selalu terjalin dengan baik.” Ucapnya sambil memeluk dan mengecup pipi kanan dan kiriku. Afnan berlalu dari hadapanku. Aku hanya merasa kami seperti sudah lama berteman. Bahkan setelah ia berlalu, rumah terasa sunyi. Ya, hanya aku dan buku-buku di rak kamarku.
***
Pagi ini, bel rumah berbunyi. Aku dan bunda baru selesai sarapan. Seolah bertanya dalam hati, siapa ya, pagi-pagi begini sudah main ke rumah. Apa itu Shafira yang sengaja datang? Ah, Shafira kan tak pernah datang sepagi ini. Atau, Afnan? Aku hanya diam saja di ruang tamu, bunda sudah pergi untuk membukakan pintu.
“Asalamualaikum!” Ucap seseorang dari balik pintu.
“Alaikumsalam.” Bunda menjawab sambil membukakan pintu. Kulirik wajah bunda yang sedikit heran dengan tamu yang datang.
“Maaf, pak. Mencari siapa?” Ibu merasa tidak pernah bertemu dengan tamu tersebut. Nada bicara bunda juga tidak seperti biasanya. Maklum, sejak ditinggal ayah, ibu jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki. Sama seperti di pasar. Kalau ada laki-laki, pasti Mas Hadi, sepupuku yang selalu melayani.
“Apa betul ini rumahnya Rifdha Auliya?” Aku langsung kaget ketika namaku disebut oleh pria itu.
“Ia, benar. Maaf, bapak dan ibu ini siapa, ya?” Bunda semakin heran.
“Maaf, bu. Kami ingin bertamu.” Ucap lelaki yang lebih tua.
“Oh, baik, mari silakan masuk.” Ucap bunda. Bunda langsung menyuruhku menelepon mas Hadi untuk segera datang ke rumah. Supaya ada yang menemani bunda. Spontan aku langsung pergi ke dapur membuatkan teh hangat untuk tamu itu dan segera menelpon mas Hadi.
“Maaf, ibu. Perkenalkan, saya Ahmad, ini istri saya Halimah dan ini putra saya, Ilham.” Bapak yang sudah berumur itu ingin melanjutkan perkataannya. Tiba-tiba mas Hadi datang mengucapkan salam. Ibu pun langsung menyuruh mas Hadi duduk di sebelahnya.
“Tujuan kami datang ke sini untuk melamar anak ibu. Rifdha Auliya.” Bunda kaget. Saling menatap dengan mas Hadi. Aku, spontan berhenti mengaduk teh. Ya Allah, apa ini? Ucapku dalam hati. Tidak tahu ingin bicara apa, otakku tidak bisa berpikir. Ini pertama kalinya ada orang tak dikenal datang melamar. Terlebih aku. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan keluarga itu. Dan laki-laki itu, kucoba mengintip sedikit dari dapur, ingin melihat laki-laki yang datang melarku. Ya, aku semakin yakin tidak mengenalnya.
“Maaf, pak, buk,” ucap mas Hadi mengisi keheningan dan kebingungan bunda. Sebelumnya apakah bapak atau ibu sudah mengenal Auliya?” Mas Hadi mengakhiri kata-katanya dengan nada pertanyaan dan juga heran.
“Sudah, bu.” Jawab lelaki itu. Aku tidak mengenalnya sama sekali, lalu bagaimana ia bisa katakan mengenalku. Lalu, aku harus bagaimana? Pikiranku kacau, aku tidak bisa membedakan bahagia dilamar atau bingung karena tidak mengenal siapa yang melamar.
“Sebenarnya, anak kami sudah lebih dulu datang kemari. Lalu ia menceritakan semua perilaku anak ibu terhadap kami. Lalu, anak saya Ilham ingin melamarnya. Bulan depan, Ilham akan berangkat ke Mesir untuk melaksanakan ujian akhirnya. Kalau memang berjodoh, setelah itu baru pernikahannya bisa dilangsungkan.” Ibu sedikit tercerahkan. Mungkin ini yang dinamakan ta’aruf[5].
“Anak bapak dan ibu kemari? Siapa?” Bunda semakin bingung.
“Afnan, bu. Zawata Afnan. Kemarin Afnan pamit ke saya untuk bermalam di sini.”
[1] Sesungguhnya kata-kata
itu adalah sihir yang sangat dahsyat.
[2] Kakak
[3] Saya
[4] Terima kasih, kakak.
[5] Taaruf adalah kegiatan berkunjung ke rumah
seseorang untuk berkenalan dengan penghuninya.Taaruf dapat menjadi langkah awal
untuk mengenalkan dua keluarga yang akan menjodohkan salah satu anggota
keluarga.
Komentar