TUHAN, TERIMA MAAFKU


            Mendung tak jua datang, cuaca hari ini sangat terik. Penduduk bumi dibuat gerah. Jalanan seperti mengeluarkan minyak yang mendidih. Macet total, aku terjebak di antara klakson yang beradu nyaring dan saling mendahului.

“Lewat tol aja Fan, biar lebih cepat,” imbau Andi yang sedari tadi tak tenang, ingin cepat ke kampus.

“Kau ini bagaimana Ndi, mana boleh kereta[1] bututku ini masuk ke jalan Tol,” jawabku ketus di tengah panas yang membuat kepala mendidih.Terlebih, aku tidak memakai helm.

            Zeet..Zet..Wush..Begitu ada celah sedikit saja di antara kendaraan yang memadatkan jalan itu, aku langsung memotong. Dengan kecepatan 50 km/jam kupacu kereta bututku. Lantas,

Prakkk…

Aakhkk…

Tak sengaja, kereta bututku menubruk seorang pengemis jalanan. Tubuh kecilnya terpelanting hingga membentur trotoar yang keras dan panas. Dia terbujur, ambruk. Segera Andi turun dan melihat kondisinya.

“Parah, Fan…” teriak Andi setengah takut diamuk masa. Dalam Waktu singkat, beberapa warga sudah mengerumuni kami. Klakson supir angkutan umum dan mobil-mobil pribadi berdering nyaring, membuat suasana semakin panas.

“Ayo cepat kita bawa ke rumah sakit!” teriak Andi. Aku mengangguk, kalut. Kupacu keretaku dengan perasaan tak menentu.

“Suster… Suster…Tolong, ada pasien sekarat!” teriakku kepada para wanita berseragam putih yang berdiri di mulut pintu Unit Gawat Darurat, Rumah Sakit.

“Maaf Pak, mohon mengisi form untuk administrasinya lebih dulu.”

“Hah! Gila! Kau tak lihat anak ini sudah mau mampus, cepat tolong dia!” Darahku naik ke kepala. Rasanya aku ingin meledak dan meluapkan seluruh amarahku di rumah sakit itu.

“Pak, ini sudah prosedur rumah sakit. Bagaimanapun, Bapak harus mengisi administrasinya lebih dulu.” Lagi-lagi nada formal yang tak enak keluar dari mulut suster itu. Kutatap sejenak wajah anak yang berlumuran darah tak berdaya. Orang-orang sekitar menatap kami dengan sorot mata tajam. Namun tak ada satu orang pun yang mau angkat bicara.

“Beginikah sifat manusia saat ini? Tidak punya belas kasihan! Ketika seorang sudah sekarat, masih saja mempersoalkan administrasi!” amukku dalam hati.

            Aku kalap. Kuturunkan anak kecil yang sedari tadi kugendong, ke bangku panjang yang tegak di mulut pintu ruang itu. Secepat mungkin, kuserobot sebuah gunting yang ada di atas meja suster itu dan kuacungkan ke lehernya. Orang-orang berteriak histeris memanggil satpam. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu, yang kutahu hanyalah bagaimana caranya agar anak kecil yang malang itu bisa diselamatkan.

“Cepat bawa dia, atau kubunuh suster ini. ”Semua orang melihatku, Sang Suster telah lumpuh dalam cengkeramanku.

“Baik…baik…, Jangan sakiti susternya, kami bawa anak ini.” Setengah takut, Satpam Rumah Sakit membawa anak kecil itu tergesa ke dalam ruangan. Aku masih memegangi wanita paruh baya yang ketakutan dengan ujung gunting yang melekat di tenggorokannya, dia menangis.

            Dari kejauhan kulihat anak itu dibawa ke dalam ruangan. Entah bagaimana nasibnya. Apakah dia masih hidup, atau…ah, kalau dia meninggal akan kutuntut rumah sakit ini karena tidak cepat menanganinya. Kulepaskan suster itu, sesak nafasnya tersengal.

“Bagaimana kalau anak kalian mendapat hal yang sama, apa kalian juga memikirkan administrasinya? Apakah kalian masih memikirkan uang walau darah sudah bercucuran dari keningnya?” Aku membentak. Tak satupun yang menjawab. Aku mengutuk dalam hati. Beginikah pelayanan negaraku? Hanya orang-orang yang beruang saja yang cepat dilayani. Tanpa sadar, air mataku mengalir perlahan.

            Seketika baru kuperhatikan, baju putihku berubah warna menjadi merah. Aku baru ingat, siang ini aku dan Andi akan mengikuti ujian akhir semester.

“Ah… Sudahlah. Apalah pentingnya ujian itu dibandingkan dengan nyawa orang yang telah kutabrak. Oh Tuhan… apa yang aku lakukan, kenapa aku bisa seceroboh ini…” Aku mengutuk sedalam-dalamnya. Dari kejauhan kulihat Andi datang tergogoh-gopoh menuju ke arahku.

“Gimana anak itu, Fan?”

“Kemana saja kau? Bukannya menolongku, kau malah menghilang.” Kasar jawabku pada Andi.

“Aku takut darah, Fan…” jawab Andi lemas. Aku baru ingat kalau Andi tidak bisa melihat darah. Konon, sewaktu Andi masih kecil keluarganya habis-habisan di bantai di Aceh, hanya tersisa dia dan adiknya, Mala. Itu pun karena mereka sembunyi di dalam lemari pakaian, sehingga tidak terlihat oleh gerombolan pembantai. Dari kejadian itu, setiap kali Andi melihat darah dia teringat akan masa lalunya.

            Seorang dokter keluar dari ruangan tempat anak itu dirawat,

“Bagaimana keadaannya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” Wajah dokter itu kelihatan suram. Seperti hatiku yang gelisah.

“Maafkan kami, Pak. Karena dia kehabisan banyak darah, kami tidak bisa menyelamatkannya. Dia sudah meninggal, Pak.”

Taarr… Aku bagai disambar petir. Ucapan dokter itu membuatku lemas, hampir ambruk. Tanpa permisi, air mataku meleleh.

“Aku pembunuh, Tuhan…”Jeritku dalam hati.“Kenapa Engkau lakukan ini padaku” Lagi-lagi aku menyalahkan Tuhan.

“Ini semua gara-gara kalian! Kalian telah membunuhnya!” Kuarahkan telunjukku kepada orang-orang berseragam putih itu.“ Mana tanggung jawab kalian?” teriakku sejadi-jadinya. Aku jatuh dan tak sadarkan diri.

***

            Senja menutup hari, mentaripun tenggelam menarik malam. Aku terpaku di tepian kemelut, sesali perbuatanku. Masih teringat jelas di benakku ketika kugendong anak itu. Sebilah kayu yang dipakukan tutup minuman botol, menyerupa tamborin sederhana, masih dipegangnya erat. Dia tidak salah berkeliaran di jalan raya. Dia hanya berusaha mengais kehidupan. Usianya masih hijau, namun mengapa nasib baik seolah bukan miliknya. Dia pantas hidup layak. Tapi, siapa yang peduli?

            Hampir saja aku gila. Sejak peristiwa itu, hari-hari kuhabiskan dengan merenung. Berjubel pertanyaan berloncatan dari pikiranku. Rasa bersalah menghantuiku. Aku benar-benar menyesali perbuatanku juga pelayanan rumah sakit itu. Untunglah ada Andi yang selalu menguatkan aku untuk selalu bersabar.

“Setiap manusia pasti akan merasakan mati, Fan. Ajal anak itu memang sudah ditakdirkan Tuhan, kau tak perlu menyesalinya sampai seperti ini.” Andi menghiburku dalam kegalauan.

“Tapi mengapa harus aku yang menjadi penyebab kematiannya?” isakku lirih.

“Sabar, ya Fan…” Kalimat terakhir yang selalu diucapkan Andi padaku.

            Pikiranku pun berkecamuk, alangkah malang nasib pengamen kecil itu. Dia tak punya kerabat ataupun orang tua. Seorang lelaki yang mengaku kerabatnya tak menuntut banyak. Dia hanya butuh beberapa gepok rupiah untuk membiarkan kasusku selesai sendiri. Tidak ada yang mencarinya. Dan peristiwa itu, sedemikian cepat terlupa. Ah, harusnya aku senang dengan keapatisan ini. Tapi nuraniku berontak. Aku seperti seorang penjahat yang membunuh dikerumunan orang buta. Semua orang membutakan dirinya. Tidak, bukan cuma buta. Mereka juga tuli.

Anak-anak jalanan yang seharusnya menjadi tanggungan negara, tertulis jelas dalam Undang-Undang, tapi masih banyak di sini pengemis-pengemis yang tak jelas arah hidupnya. Luntang-lantung tak karuan. Aku membayangkan, apakah para pejabat itu sanggup satu hari saja diberi pakaian pengemis dan gitar butut untuk mencari sesuap nasi mengisi perut gembulnya. Andai saja mereka bisa merasakan apa yang dirasakan anak-anak itu.

***

            “Ayo anak-anak, ada berapa Rukun Islam?”

“Lima Pak,” jawab anak-anak jalanan yang kupungut satu persatu dari bawah jembatan layang di kotaku. Sebelumnya, mereka kuberi pakaian yang layak, dan kuajarkan apa yang kutahu tentang agamaku.

“Mengucap dua kalimat syahadat, mendirikan salat, berpuasa di bulan Ramadan, membayar zakat, naik haji ke Baitullah” riang semangat mereka menyanyikan pelajaran yang kuberikan. Setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku pada anak yang tak kuketahui namanya itu. Kuharap Tuhan menjaga dan menenangkan ruh sucinya di alam yang lain. Tertidur pulas menunggu kiamat datang, hingga segala pertanggungjawaban pun menudingku.

“Tuhan, terima maafku…”

 

                                                #Untuk orang-orang yang masih memiliki hati.



[1] Sepeda motor


Komentar