GERBANG KEMATIAN (Cerita Pendek)

 

GERBANG KEMATIAN


Penulis: Jessica Stevani Poaler
(Diambil dari buku Pena Pengembara)
Gambar: google

Vikal merapikan pakaiannya dan melihat penampilannya sekali lagi di depan cermin, ‘sudah oke’ batinnya. Pria kurus jangkung itu kemudian melangkahkan kakinya ke arah pintu setelah sebelumnya sempat mengambil benda kecil di atas meja dapur yang kemudian diselipkan di saku belakang celananya, memakai sepatunya kemudian melangkah keluar.

Cuaca pagi ini sama sekali tidak membuatnya bersemangat, bisa dibilang merusak moodnya, malas. Vikal terus melangkah mantap, dirinya sudah hafal betul dengan jalan yang dilaluinya. Langkahnya terhenti di depan sebuah pagar putih tinggi yang tidak terkunci seakan sudah menunggu kehadirannya.

Vikal membuang nafas kasar sebelum menyentuh pagar itu. Dia telah tiba, di gerbang kematiannya. Setidaknya Vikal merasa begitu. Di dalam sana, dia tahu jelas akan sekejam apa siksaannya. Tentunya akan sangat menyakitkan, perih, dan sadis. Tidak sedikit tangisan pilu meraung-raung keluar dari mulut siapa saja yang melangkah masuk ke dalam bangunan di balik gerbang ini. Mereka hadir bukan karena keinginan hati melainkan karena keadaan yang memaksa mereka untuk menelan mentah-mentah semua siksaan itu.

Sekali lagi Vikal menatap gerbang putih yang gagang gerbangnya tengah digenggam olehnya, menatap lurus ke arah bangunan di depannya. Bangunan segi empat polos tanpa model dan dekorasi hanya terdapat sebuah pintu kecil dan tidak memiliki jendela satupun. Seolah-olah melarang siapa saja yang ada di dalamnya untuk mengintip keluar ataupun sebaliknya. Kepercayaan diri yang tadi memuncak kini mulai menciut, langkah Vikal tak lagi seyakin tadi, tak lagi semantap tadi. Tapi kini, lebih pelan, lebih tertatih.

Selangkah demi selangkah kakinya menapak, ujung sepatunya telah berada tepat di atas keset depan pintu. Vikal menurunkan gagang pintu, menghela napasnya sekali lagi sebelum mendorong pintu kayu kusam itu ke depan, kemudian ia tertelan ke dalam ruangan itu. Seorang pria berwajah sangat dan menyeramkan menyambutnya kemudian menarik pergelangan tangannya supaya Vikal ikut bersama pria menyeramkan itu. Tarikannya memang cukup kasar dan cukup membuat Vikal ngeri untuk menolak. Di tangan yang satu lagi, pria menyeramkan itu membawa sebilah papan dengan besi menancap, juga sebuah kayu runcing. Rantai besi bergantung di lehernya, juga mencekal tangan hingga jari-jarinya. Di sekeliling ruangan terdapat besi-besi yang membatasi antar tahanan yang satu dengan tahanan yang lainnya, membentuk bilik-bilik kecil yang sempit dan sesak serta penuh tangisan kesengsaraan.

Disetiap bilik bisa dijumpai seorang penjaga yang terlihat menyeramkan sama seperti yang sedang menarik tangan Vikal sekarang. Selain itu, terdapat beberapa orang tahanan-seperti Vikal dalam tiap biliknya. Wajah para penjaga terlihat menyeramkan tapi sangat santai, bisa dibilang sangat menikmati apa yang sedang dilakukannya. Sementara para tahanan terlihat sangat kesakitan, tersiksa, tak berdaya, sangat menyedihkan. Vikal tahu tak lama lagi dirinya akan sama seperti mereka nasibnya.

Vikal terus berjalan mengikuti pria menyeramkan di depannya, ujung kayu runcing yang dipegangnya terlihat mengilap di bawah cahaya remang, mereka akhirnya sampai di bilik paling ujung. Sama seperti bilik lain, sudah ada beberapa orang di dalamnya. Vikal mengikuti langkah penjaga menyeramkan itu ke dalam bilik penyiksaanya, kemudian mulai berdoa di dalam hati. Semoga ia masih bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.

Beberapa saat kemudian bagian yang paling ditakuti Vikal benar-benar terjadi. Pria menyeramkan itu menunjuk-nunjuk dengan kayu runcingnya menyuruh seorang dari mereka untuk maju ke depan menghadap ke arah yang lainnya membelakangi papan bercahaya yang terasa panas di belakangnya. Entah apa yang diucapkan sang penjaga, yang jelas, setelahnya pemuda tadi komat-kamit tanpa henti. Ucapannya terdengar pilu dan putus asa, meraung meminta pertolongan. Seisi ruangan hening. Setelah mendengarkan pemuda itu, penjaga tadi menggores-goreskan kayu runcingnya membuat orang yang ada di depan ketakutan setengah mati, sekujur tubuhnya ikut bergetar dan tangisan tertahan keluar dari bibirnya. 

Bahkan hingga berjam-jam berikutnya, siksaan terus datang silih berganti, bahkan lebih kejam seiring waktunya. Rasanya untuk berdiri saja Vikal sudah tak mampu. Dirinya benar-benar disiksa di sini. Tangannya terus dipaksa menggerakkan kayu-kayu runcing, perutnya dibuat mual melihat nasib teman-teman yang lainnya, bahkan kepala mereka dipanaskan. Ketika Vikal sudah tidak tahan dengan semuanya dan nyaris tidak sadarkan diri, sebuah keajaiban muncul. Tiba-tiba sang penjaga membiarkan mereka keluar dari ruangan itu. Badan mereka sudah menggigil kedinginan, tapi kepala mereka terasa sangat panas. Vikal berjalan perlahan keluar ruangan diikuti yang lainnya. Meski senang bisa keluar, tapi tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk melakukan perayaan. Mereka berjalan lesu, raut wajahnya mengisyaratkan ketakutan, tertekan, mual. Ada yang berteriak geram, ada yang menangis dalam diam ada yang mengacak rambutnya, frustasi.

Mereka semua akhirnya diberi kesempatan untuk kembali melihat cahaya matahari. Kembali bernafas bebas terlepas dari semua siksaan. Dengan lega mereka semua berjalan keluar dari bangunan mematikan tersebut meninggalkan bilik-bilik penyiksaan dengan penjaga menyeramkan di dalamnya.

Vikal merogoh sakunya dan mengeluarkan benda kecil yang ada di sana sejak pagi tadi. Dirinya sudah bertanya-tanya kapan dia bisa menggunakan benda itu. Akhirnya, sekarang telah tiba saatnya. Vikal membawa langkahnya ke sebuah tumpukan kayu berpenjaga yang letaknya tepat di hadapan bangunan mematikan itu. Di dalam tumpukan kayu terdapat ember besi berisi air mendidih dan tepat di atasnya diletakkan bagian-bagian tubuh yang telah diterkam, dicabik-cabik tanpa belas kasih. Vikal memberikan benda dari sakunya pada pria paruh baya penjaga tumpukan kayu. Kemudian penjaga itu seakan sudah tahu maksud Vikal segera memberikan beberapa penggal bagian tubuh padaVikal. Pertukaran terjadi dalam diam, tak satupun dari mereka bersuara. Vikal menyeringai, tersenyum miring menatap potongan-potongan tubuh di hadapannya ini. Cairan merah segar yang menghiasi dinding-dinding ember itu semakin membuatnya tak sabar untuk segera menggerogoti bagian-bagian tubuh itu. Inilah yang membantu Vikal melupakan semua siksaan yang dialaminya hari ini, semua tekanan yang diterimanya, semua hal buruk yang terjadi.

Dan… di sinilah Vikal sekarang, sedang duduk di kedai bakso di depan sekolah. Ia menatap lekat gerbang yang membuatnya bungkam di hari itu. Setidaknya, hari ini ia telah selamat dari siksaan. Namun, lamunan itu buyar ketika mengingat hari esok masih akan kembali memasuki gerbang itu, gerbang kematian.

Komentar

ow mengatakan…
mohon maaf pak sebelumnya, mengapa ceritanya agak aneh ya? mau menuju ke akhir ceritanya jadi ga nyambung dan ga masuk akal sama awal critanya. lalu ada typo dan tulisan nya aga bertele2 dan menjadi tidak efektif. mohon pencerahan nya apa maksud dari cerita di atas. terima kasih.
ow mengatakan…
apakah seluruh cerita ini mengumpamakan tentang sekolah? gerbang kematian itu maksudnya gerbang sekolah kan pak?
Al Hilal Siagian mengatakan…
Terima kasih telah memberi respons. Cerpen ini hadir sebagai interpretasi penulis tentang perasaannya. Sebenarnya tidak ada yang bertele-tele, itu hanya bagian dari strategi penulis untuk mengolah emosi pembaca. Jika berkenan, boleh tunjukkan bagian mana yang tidak efektif? Bisa jadi itu bagian dari kesalahan.