Cerpen "Kabut Rindu" oleh Nelvina Abel

            Arloji yang menggelantung indah di lengan kiriku menunjukkan pukul 06.07 sore, menandakan jam makan malam telah tiba. Aku telah berpakaian rapi, kemeja oranye gelap sengaja aku kenakan agar senada dengan warna langit dilengkapi dengan rok yang senada dengan warna awan. Sebentar lagi, kekasihku akan datang menjemputku untuk makan malam bersama.

“Hai, Bunga.” Sapanya memanggil nama kecilku, diikuti senyuman manis yang mampu membuat hatiku berdegup kencang tak karuan.

“Hai juga, Vano.” Balasku. Lagi-lagi Vano tersenyum, kali ini ia sambil memakaikan helm motor ke kepalaku. Setelah selesai, aku memegang kedua pundaknya untuk membantuku menaiki motor bebeknya. Aku tidak seperti wanita lain yang harus naik mobil mewah atau makan di tempat mahal seperti restoran. Bagiku, asal bersama  dengan orang yang aku cintai saja sudah lebih dari cukup.

Motor mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah. Aku menikmati semilir angin yang menyentuh kulitku selagi memandang langit senja yang begitu indah.

“Pegangan yang erat, Bunga. Nanti kamu akan jatuh.” Peringat Vano.

“Aku tidak mau wanita pujaanku terluka. Melihatmu terluka membuat hatiku sakit, artinya aku gagal melindungimu.” Lanjutnya membuatku tersipu. Aku memeluknya dan menyenderkan kepalaku di punggungnya. Rasanya jika bisa, aku ingin memberhentikan waktu supaya aku bisa seperti ini terus bersamanya.

Setelah memakan waktu kurang lebih 30 menit, kami akhirnya tiba di angkringan langganan kami.

“Seperti biasa saja ya.” Ucapku kepada Vano, ia mengangguk ngerti kemudian aku pergi mencari tempat duduk.

“Ketopraknya satu ya Pak dhe, es jeruknya dua.” Pinta Vano kepada Pak dhe, setelah itu ia menuju ke meja makan.

“Kamu tidak makan, Van?” Tanyaku bingung.

“Engga, tadi Bunda buatin aku makan sebelum aku jemput kamu. Aku masih kenyang. Yang terpenting, kamu harus makan sekarang. Nanti sakit maag kamu kambuh.” Jawab Vano.

“Tante pulang cepat?” Tanyaku lagi.

“Iya, hari ini Bunda minta izin untuk pulang cepat. Kebetulan Bunda tidak ada pasien.” Jawab Vano. Aku hanya mengangguk mengerti.

“Bunga.” Panggil Vano. Aku dari tadi yang sibuk bermain dengan jari menatap wajah Vano.

“Kenapa, Van?” Tanyaku bingung. Tatapannya tersirat banyak makna, seakan ingin menyampaikan sesuatu namun tidak bisa.

“Terima kasih, ya.” Ucapnya. Aku mengerutkan dahiku, apa maksud Vano?

“Terima kasih karena sudah terlahir di dunia ini. Kamu tahu? Aku belum pernah melihat bunga secantik dan semenawan kamu. Kamu adalah wanita berharga dihidupku setelah Bunda. Setiap aku terbangun dari tidurku, kamu orang pertama yang terlintas di fikiranku. Kamu adalah penyemangatku agar aku bisa menjalani hari-hariku, dan kamu adalah jawaban dari setiap doa-doaku.” Lanjut Vano menjawab berjuta petanyaan yang ada di kepalaku.

“Kalau suatu saat Tuhan berkehendak lain, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Vano. Aku terkejut mendengar pertanyaan Vano. Ia tidak pernah seperti ini.

“Pertanyaan kamu tidak bisa aku jawab. Apa jadinya aku tanpamu, Van? Kamu yang mengajarkanku tentang cinta, rindu, dan rasa sakit.” Jawabku. Vano tersenyum lebar dan mencubit ujung hidungku.

“Kamu tetap menjadi Bunga kebanggaan Vano. Selamanya.” Balas Vano. Pak dhe datang membawa pesanan kami, Vano mengaduk es jeruknya.

“Ayo dimakan ketopraknya, kalau kamu engga mau makan nanti ketopraknya nangis.” Canda Vano membuatku terkekeh.

Beberapa menit kemudian, ketoprakku habis. Vano menuju ke tempat Pak dhe duduk bermain catur dengan penjual gerobak lainnya untuk membayar pesanan.

Total e limolas ewu yo le.[1] Setelah memberikan uang, kami pergi menuju ke tempat motor milik Vano berada.

“Langsung pulang ya, Bunga?” Ajak Vano.

“Biasanya kan kita selalu jalan-jalan dulu, Van.” Balasku.

“Iya, Bunga. Maaf  ya tapi aku kurang enak badan.” Ucap Vano.

“Iya deh, kita pulang aja.” Balasku agak ketus. Vano terkekeh dan mencubit kedua pipiku.

“Besok aku janji deh bakal ajak kamu jalan-jalan seharian. Hari ini Vano harus istirahat dulu ya.” Aku tersenyum melihat tingkahnya, aku memang tidak bisa kesal terlalu lama dengan Vano, ia selalu ada cara agar aku bisa kembali senang.

Di sepanjang perjalanan aku terus mendongak ke atas, mencoba menghitung jumlah bintang yang ada.

“Vano, malam ini bintangnya banyak yang bermunculan.” Kataku. Vano mendongak ke atas.

“Aku tidak perlu melihat langit malam karena faktanya setiap siang pun aku bisa melihat bintang. Bintangnya selalu bersinar terang, dan itu kamu.” Balasnya. Aku tersenyum dan memukul pelan pundaknya.

“Apaan sih, Van. Ngegombalin anak orang mulu.” Candaku.

“Iya dong, kamu kan emang---”Seketika mobil berkecepatan tinggi menabrak motor yang kami naiki. Aku terpelanting jauh, begitu pula dengan Vano. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa, rasanya bagai ribuan pisau tajam menghunjam seluruh badanku. Pandanganku mulai gelap namun aku bisa melihat beberapa orang mulai berdatangan. Aku memiringkan kepalaku, mencoba mencari Vano. Dadaku terasa sangat sakit melihat Vano berlumuran darah, ia sudah tidak sadarkan diri. Helm yang ia kenakan bahkan terlepas, menandakan bahwa kondisi Vano lebih mengenaskan.

“V-Vano!” Teriakku sekuat tenaga. Aku tidak peduli tentang kondisiku, aku terus meneriaki namanya dengan tenagaku yang tersisa, berharap ia akan menatapku dan membalas teriakanku.

“Vano bangun!” Teriakku. Tak ku sadari air mataku mulai mengalir, tidak tau karena rasa sakit fisikku yang mendominasi atau rasa sakit mengetahui fakta bahwa Vano tidak akan menjawabku lagi.

“Bunga! Bunga bangun!”Aku membuka kedua mataku.

“Sadar Bunga, ia telah pergi. Ikhlaskan kepergiannya.” Ucap Bunda sambil memeluk tubuhku. Lagi-lagi aku terbangun dari tidurku karena bermimpi tentang malam terakhirku dengan Vano. Semenjak kepergiannya 3 tahun yang lalu, aku selalu berteriak memanggil namanya tidak peduli itu tengah malam ataupun subuh.

Vano kehilangan banyak darah saat menuju ke rumah sakit. Malam itu ia memberitahuku bahwa ia tidak enak badan, ternyata saat siangnya ia habis mengunjungi rumah sakit tempat Bundanya bekerja untuk mengetahui fakta bahwa Vano mengidap leukimia. Seandainya aku tahu lebih awal, aku tidak akan memintanya untuk menjemputku pergi makan malam. Seandainya aku tidak bersikap seperti anak kecil, aku tidak akan meminta Vano untuk melihat bintang di langit. Seandainya itu semua terjadi, Vano tidak akan pergi.

Vano tidak pernah menepati janjinya, ia tidak pernah mengajakku jalan seharian. Tidak ada lagi yang bisa membuatku semangat beraktifitas, tidak ada lagi yang mengingatkanku untuk makan, tidak ada lagi yang mengkhawatirkan kondisiku, tidak ada lagi senyuman hangat Vano dan tatapan dari kedua bola matanya yang lebih indah dari berlian manapun itu, dan tidak ada lagi candaan serta gombalan khas Vano yang bisa membuatku tersipu sekaligus terkekeh. Sekarang, aku tau maksud dibalik semua pertanyaan Vano saat di angkringan. Rasanya seperti ia bisa melihat masa depan.

Semua yang ada di dunia ini dapat membunuh manusia termasuk cinta. Rasa sakit sesungguhnya itu bukan saat perasaan di tolak oleh gebetan, bukan saat diputusi oleh sang kekasih, bukan saat kedua manusia dipaksakan untuk menjalani hubungan jarak jauh menahan rasa rindu tak tertahankan, bukan pula saat diselingkuhi atau diduakan. Rasa sakit sesungguhnya yang dapat membunuh bukan hanya raga namun jiwa seseorang itu saat orang yang benar-benar dicintai pergi jauh untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali, bahkan tanpa mengucapkan kalimat perpisahan.

Kehidupan bagaikan bunga. Ada saatnya ia mekar menunjukkan keindahannya yang tiada tara, ada pula saat ia layu bahkan gugur. Ada saatnya manusia merasa bahagia menunjukkan keberhasilan yang memuaskan hati, ada pula saatnya manusia berada di posisi terendah, terus merenung dan terjebak dalam kubu kesedihan. Semua tergantung dalam diri sendiri. Tergantung ia mau melangkah ke depan ataupun terus terdiam dan berada dalam jeratan masa lalu. Kepergian seseorang mengajarkan kita arti cinta yang sesungguhnya.





[1] Totalnya lima belas ribu ya, nak

Komentar

Nelvina Abel mengatakan…
Mantap Pak Hilal :)