Menggonggongi Kafilah

“Hari ini kita nonton film Tenggelamnya Kapal Van Deer Wijck jam 16.15 di tempat biasa,” SMS (Short Message Service) dari Liandy  mengagetkanku. Membangunkan aku dari sisa-sisa lamunan yang terus berkelabat di tempurung kepalaku, menari-nari mencari arah di mana ia akan duduk bersantai sambil mereguk secangkir kopi panas, atau kurasa hanya air putih biasa, sebab aku tak mau otakku meleleh hanya karena sebuah lamunan.

            “Oke,” jawabku singkat.

            ”Hidup ini pilihan, Lal!” ucap lelaki itu padaku. Malam menghantarkan kami pada sebuah warung Pecel Lele di pinggiran kota Medan. Persis 3 jam kami menghabiskan waktu untuk menonton karya Buya Hamka itu. Sampai akhirnya, lapar menuntun kami untuk menikmati Pecel Lele dan Tumis Kangkung.

            “Kau mau jadi anjing atau jadi kafilah?” Lelaki berambut putih itu melanjutkan pembicaraannya. Seonggok pertanyaan itu membuataku dan Liandy mengerutkan kening sambil melotot pada lelaki berkacamata itu.

            “Jika kau ingin jadi anjing, maka menggongonglah kau setiap hari. Pagi, siang, malam menggongonglah sesukamu, maka kau benar-benar akan menjadi anjing. Tapi jika kau ingin jadi kafilah, maka teruslah berjalan. Berjalan tanpa henti, meski gonggongan itu terus menceracau pedas di telingamu. Yakinlah, suatu saat kau pasti sampai pada tujuanmu.” Lalu lelaki tua itu mendekatkan wajahnya ke wajah kami dan mengatakan,

            “Akan lebih banyak lagi gonggongan yang akan kau dengar setelah kau sampai pada tujuanmu.” Sejurus kemudian kembali lagi otakku berputar menyingkap lembaran-lembaran usiaku yang terus melapuk. Aku mulai menemukan gonggongan-gonggonganku setiap hari, setiap jam, setiap saat, bahkan sewaktu tidur pun aku masih saja mengonggong. Gonggongan yang membangunkanku di pagi hari karena mendengar gonggonganku sendiri.

    Dua puluh empat tahun pula aku bermimpi menjadi kafilah, meski mimpi-mimpi itu diselingi dengan gonggongan yang riuh. Yang memekakkan telinga setiap orang yang mendengarnya, namun tetap saja aku menjadi anjing yang selalu menggonggong setiap waktu.

            Teh panas yang kami reguk ternyata tak cukup panas untuk menghangatkan tubuhku. Kata-kata lelaki berambut putih itu ternyata menyeruak masuk ke seluruh sendi-sendi tulangku. Aku menggigil mengingat hidup yang terus merongrong hari-hariku.

            ”Cukup tiga lembar dalam sehari, sebulan sudah sembilan puluh halaman, dua bulan sudah siap novelmu.” Kembali lelaki tua itu mengingatkan kami betapa pentingnya sebuah karya untuk menjadi saksi hidup.

            “Selama tiga puluh tahun setelah kematianmu nanti, kau masih mendapatkan royalti. Setelah itu Negara akan mengambil alih semuanya, namun namamu tetap abadi sepanjang masa. Kelak, cucu dan cicitmu akan berkata Ini tulisan kakek kita.” Kami hanya bisa diam dan melihat diri masing-masing.

            Hatiku berontak hebat, darahku mendesir bergemuruh kencang, mencuat ingin membuncah keluar membasahi tempurung otakku yang semakin panas, bahkan lebih panas dari teh yang menemani kami di malam ini.

“Seorang penulis akan mati, sedang tulisannya akan abadi. Jika kau ingin mati tanpa dikenang, maka menggonggong sajalah kau selalu, menjadi anjing yang berdiri di pinggir jalan menanti kafilah yang lewat untuk menggonggonginya. Namun jika kau ingin menjadi kafilah itu, teruslah kau berjalan dengan tulisan-tulisanmu, jangan kau hiraukan gongongan-gonggongan itu. Kelak kau akan menemukan anjing yang lebih anjing lagi, yang gonggongannya lebih dahsyat menantimu di simpang jalan.” Kami hanya diam, tak berkedip menatap bibir lelaki tua itu melanjutkan kata-katanya.

“Jika sekarang kau berteriak, mungkin semua orang yang ada di sini akan mendengar dan melihatmu. Setelah semua orang pergi dari tempat ini, maka teriakanmu itu akan hilang, tak terdengar lagi. Namun jika kau berteriak dalam tulisanmu, seratus tahun lagi suara itu akan tetap ada, bahkan ia akan abadi bersama ingatan orang lain.” Lelaki itu geming menatap kami yang hanya terdiam menatap puing-puing masa lalu yang habis terbuang begitu saja. Perlahan, kami pun pergi meninggalkan lokasi tempat kami menyantap makan malam.

Persis ketika kami mengambil kereta1 di parkiran, secara spontan aku melihat anjing menggonggongi kami meminta uang. Liandy, karena tidak tahan mendengar gonggongan itu, akhirnya memberi uang dua ribu rupiah. Ternyata benar, anjing itu berhenti menggonggong setelah mendapat uang.

Aku baru menyadari ketika di bioskop tadi, terlalu banyak anjing yang ikut menonton film buah pikir Buya Hamka itu. Aku mendengar lolongan mereka di sela-sela adegan sedih anjing-anjing itu malah tertawa terpingkal-pingkal. Bukan hanya satu, tapi hampir semua penonton tertawa. Hanya tersisa aku, Liandy dan Ayah, lelaki berambut putih itu yang meneteskan air mata menghayati adegan-adegan sedih yang kami tonton.

Bukan hanya itu, aku juga melihat anjing di sepanjang jalan yang kami lalui. Ketika mengambil tiket, membeli minuman, bahkan di dalam film yang kami tonton pun begitu banyak anjing yang bukan hanya bisa menggonggong dan melolong, tapi juga berbicara dan menjilat.

Aku pun melangkahkan kaki menuju pulang. Aku terkejut melihat begitu banyak anjing yang berkeliaran di pinggiran jalan, bahkan aku hampir menabrak salah satunya sewaktu anjing itu ingin menyeberang di zebra crossing. Bukan hanya itu, ada pula manusia berkepala anjing yang berdiri di pinggiran jalan dengan pakaian seksi dan menanti anjing yang menaiki mobil dengan perut-perut buncitnya menjemput mereka.

Terlau banyak anjing yang kutemui hari ini, kurasa aku terlalu banyak berhalusinasi karena menonton film tadi, atau karena mendengar lelaki berkaca-mata itu membicarakan anjing dan kafilah? Bahkan di depan pagar kos-kosanku sendiri, aku bertemu dengan anjing betina memakai lipstick tebal dan mengenakan baju you can see

Setibanya di kamar, aku memperhatikan cermin setinggi tegak di dinding kamarku. Lalu aku terkejut melihat ada seekor anjing yang sedang berdiri memandangiku.

 

 Sepeda Motor (bahasa percakapan Sumatra Utara)

 


Komentar