(foto; google)
Siapa yang bertugas memperkenalkan dan
mengajarkan ilmu pengetahuan terhadap anak? Jika pertanyaan ini diajukan kepada setiap
orang, pasti mereka akan menjawab ‘Guru’. Guru Agama, Kimia, Fisika, Matematika dan
lain sebagainya menjadi tujuan dari pertanyaan tersebut, tergantung bidang ilmu
pendidikannya masing-masing. Namun sadarkah kita bahwa peran untuk mengajarkan
dan memperkenalkan ilmu pengetahuan tidak melulu menjadi tugas guru. Akan
tetapi, orang tualah yang pertama kali dan berkewajiban memberikan pengetahuan
kepada anak-anaknya tentang segala sesuatu yang belum mereka ketahui.
Jika orang tua belum atau tidak mampu untuk
memberikan pengetahuan kepada anak, di sinilah
peran guru sangat diperlukan. Akan tetapi menjadi sebuah pertanyaan apakah
peran guru bisa menggantikan posisi orang tua di sekolah? Inilah yang menjadi problematika pendidikan
kita saat ini khususnya di Indonesia. Sekolah acap kali dijadikan “tempat
penitipkan anak” bagi orang tua. Mereka sudah dijejali dengan berbagai macam
ilmu dan informasi di sekolah sebelum mereka mengenali karakter diri mereka
sendiri. Alhasil orang tua hanya mementingkan prestasi akademik si “anak” dari
pada bakat atau kemampuan apa yang mereka miliki.
Perlahan tapi pasti semua pelajaran yang
tersistem oleh kurikulum dipaksa masuk ke otak mereka setiap hari. Lain pula
dengan karakter guru yang berbeda-beda dalam menyampaikan materi yang belum
tentu anak bisa mengerti dan memahami materi tersebut. Maka anak akan menjadi
sasaran pertanggungjawaban kepada orang tua ketika nilai Matematika, Fisika
atau Bahasa Indonesia-nya
jelek. Lalu timbullah persepsi sebab akibat orang tua yang mengarah kepada
“anak” atau “guru”. Anak yang tidak mampu menangkap pelajaran? atau
guru yang tidak bisa mengajar?.
Di bawah ini ada sebuah kisah yang mungkin bisa
memberikan pencerahan kepada kita tentang apa dan bagaimana cara mendidik anak
yang benar. Bukan hanya sebagai seorang tenaga pengajar, kisah ini juga untuk
para orang tua.
Di sebuah negeri, terdapat sekolah untuk para
hewan. Hewan-hewan di sini diberikan materi yang bermacam-macam supaya mereka
mempunyai berbagai kelebihan untuk masa depan mereka. Hewan yang menjadi siswa
diantaranya Gajah, Kancil, Ular, Macan, Kura-kura, Elang, dan Ikan. Mereka
mendapatkan kurikulum yang lengkap. Ada pelajaran meloncat jauh, pelajaran
terbang, pelajaran menyelam, pelajaran merobohkan pohon, pelajaran merayap, dan
lain sebagainya.
Minggu pertama adalah pelajaran meloncat jauh. Dipelajaran ini yang mendapatkan nilai yang
bagus hanyalah kancil. Gajah, Kura-kura, dan Ikan putus
asa karena sama sekali tidak bisa mengikuti. Pada minggu kedua adalah pelajaran menyelam. Dipelajaran ini yang mendapatkan nilai yang
bagus hanyalah Ikan. Semua hewan tidak berani meyelam. Minggu ketiga adalah pelajaran terbang. Dipelajaran ini yang mendapatkan nilai bagus
adalah Elang. Siswa yang lain, jangankan terbang, meloncat
ke atas saja tidak bisa. Minggu keempat
adalah pelajaran merobohkan pohon. Gajah mendapatkan nilai bagus. Untuk
Kura-kura, Ikan, Kancil, Elang dan Ular memilih untuk tidak mengikuti pelajaran ini
karena memang tidak bisa.
Demikianlah sampai pada akhir kelulusan sekolah
hewan tersebut. Kepala sekolah kecewa dengan nilai yang didapatkan para
siswanya karena masing-masing hanya mengikuti satu mata pelajaran. Kemudian
dinyatakan bahwa tidak ada satu muridpun yang lulus dan semua harus mengulang
sampai mendapatkan nilai minimal yang dicapai. Alhasil para hewan tersebut
mengulang lagi semua pelajaran awal.
Lalu…apa yang
kemudian terjadi? Karena
dipaksakan dan dituntut untuk mendapatkan nilai bagus di setiap pelajaran, maka
satu persatu hewan tersebut mati karena tidak kuat dengan kondisi yang ada.
Cerita
di atas adalah sebagian contoh kecil bagi orang tua dan guru bahwa tidak ada
anak yang bisa segala bidang ilmu, jikapun ada itu adalah sebuah kelebihan.
Fokus yang harus dilihat pada diri anak bukan materi yang kita ajarkan, tapi
kemampuan yang mereka miliki.
Anak yang tidak bisa Matematika tidak harus
dipersalahkan karena ketidakmampuannya, anak yang tidak bisa Fisika tidak
lantas kita katakan “bodoh”. Karena pada prinsip dasarnya, setiap anak punya
bakat dan kecerdasan masing-masing. Thomas Alva Edison sempat dikeluarkan dari
sekolah karena dianggap tidak bisa mengikuti semua mata pelajaran. Namun ibunda
beliau fokus kepada bakat yang ia miliki dan memberikan perhatian lebih dan
terus mengasah bakatnya. Alhasil siapa saat ini yang tidak mengenal beliau,
bahkan buah pikirnya itu bisa kita nikmati sampai sekarang.
Karena setiap anak memiliki kemampuan dan
kecerdasan masing-masing. Maka cobalah untuk melihat kemampuan mereka dari
kacamata yang berbeda. Jika tidak, mereka akan mati, bukan fisiknya akan tetapi
kreativitas dan jiwanya. Sering kali terjadi mis
komunikasi antara orang tua dan guru. Orang tua merasa kecewa ketika melihat
nilai anak tidak sehebat teman-temannya yang lain dan menyalahkan guru tidak
mampu mengajari anak, lalu memaksakan anak agar ikut bimbingan belajar ini dan
itu agar bisa mendapatkan nilai yang baik. Kembali lagi anak menjadi korban
keegoisan orang tuanya. Yang lebih mengecewakan lagi adalah ketika sebagai
seorang guru juga masih berpikiran sama dengan orang tua bahwa anak tidak mampu
dan anak tidak bisa.
Oleh
sebab itu, menjadi seorang guru bukan hanya dituntut untuk menyampaikan materi
pelajaran kepada anak-anak dengan baik dan benar, akan tetapi harus bisa
mengarahkan mereka untuk mencari dan mengenali potensi apa yang mereka miliki.
Dengan demikian, kegiatan belajar mengajar tidak lagi dipandang sebagai hal
yang membosankan, melainkan sebuah pertualangan yang sangat menyenangkan.
Guru
bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan anak-anak dalam belajar di sekolah,
namun tanpa kehadiran guru, keberhasilan
seorang anak akan sulit dicapai. Inilah mengapa kita sebagai guru dan orang tua
harus bisa saling bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk bisa menjadikan
generasi-generasi yang baik ke depannya. Jika sudah demikian, akan terjalin
harmonisasi antara guru, orang tua dan anak. Ketika kita bisa mengenal anak, maka mereka akan mudah untuk mengenali dirinya
sendiri.
Komentar
Cerita di atas menurut saya ini memutuskan rantai persepsi orang-orang yang menurut saya itu salah, yang dimana sebetulnya saya juga salah satu orang tersebut, cerita tersebut cukup menampar saya karena kata-kata nya di susun dengan baik dan juga cerita di atas sangat menarik dan harus di baca oleh semua kalangan akan hal ini agar terbuka wawasannya.
pada dasarnya seseorang itu dilahirkan dengan memeiliki bakatnya masing masing, tidak semua memiliki bakat yang sama. dari artikel di tas memang orang tua berharap suatu saat anaknya bisa melalukan suatu kegiatan yang bisa mengharumkan namanya tapi sesuai dengan harapan orang tua, bukan anaknya sehingga orang tua memaksakan anaknya untuk mengikuti perintah orang tau tetapi menurut saya itu tidak benar. disini orang tua dan guru harus mengetahui baka apa yang dimiliki sehingga nantinya lebih gampang diasah.
Menurut saya cerita ini,mempunyai rantai perepsi orang yang salah,dan ini cerita mempunyai sususan kata yang baik,dan cerit atas ini sangat baik di bacakan untuk di pahami.
Menurut saya artikel nya sangat benar yang mengajarkan kita pertama kali pastinya orangtua dan yang banyak orang tua selalu rasa anak harus semua bisa tetapi semua manusia tidak ada yang sempurna bisa semua ,artikel cerita nya sangat benar dan sangat menarik gampang dipahami .
Sejak kecil peran orang tua sangatlah besar bagi anak, karena dari kecil anak sudah harus di didik menjadi anak yang memiliki masa depan nantinya dan peran orang tua juga harus mendukung pilihan terbaik dari anaknya karena yang diinginkan setiap anak adalah kebahagiaan.
Dari cerita yang telah saya baca, menurut saya seorang murid pasti memiliki bakat,kelebihan ataupun kekurangan masing-masing. sebagai guru maupun orangtua juga tidak boleh memaksa untuk selalu mengikuti apa kemauan mereka sendiri dan membuat para murid maupun anaknya semakin bingung,terkadang juga stress,apalagi membuat mereka kesulitan untuk memilih.
Artikel ini telah memperlihatkan kepada kita mengapa murid-murid tidak sepantasnya diberikan suatu standard yang harus mereka tempuh, contohnya untuk setiap mata pelajaran, siswa-siswi wajib melewati minimal nilai 75, dan akan mendapatkan konsekuensi apabila mereka gagal menyentuh target nilai tersebut. Artikel ini memperlihatkan kepada kita mengapa ini buruk. Saya setuju ketika artikel ini memaparkan bahwa orang tua juga harus ikut serta dalam perjalanan anak mencari potensi yang terdapat dalam diri mereka, karena tidak selamanya hanya seorang guru yang ditugaskan untuk melakukan tersebut, namun orang tua juga seharusnya berpartisipasi dalam pencapaian anak. Saya berharap dengan adanya artikel ini kedepannya, jalan pemikiran orang-orang akan lebih terbuka mengenai standarisasi pendidikan yang terdapat disekitar kita, dan lebih memahami kemampuan anak, dan tidak membeda-bedakan mereka hanya karena mereka memiliki bakat yang berbeda-beda. Terima kasih.
Saya memiliki pendapat serupa dengan proses pendidikan sesuai dengan cerita di atas. Tidak semua siswa memiliki kepintaran di bidang akademik, masih banyak siswa memiliki kelebihan di non akademik tetapi karena mereka tidak memiliki bakat di akademik maka mereka dicap kurang pintar atau bodoh. Mereka memiliki bakat yang masing-masing berbeda. Kita tidak bisa memukul rata atau melihat hanya dari satu sisi saja. Jadi di sini tugas orang tua dan guru adalah harus mengetahui apa bakat yang dimiliki oleh anak dan berusahalah untuk mengasah bakat tersebut.
-Jefry 11 IBB
Saya setuju dengan apa yg dikatakan di artikel tersebut, kita sebagai murid tidak harus bisa semuanya. Daripada pada susah-susah belajar semua, mengapa tidak memilih untuk mengasah kelebihan yang kita punya ataupun hal yang kita suka. Dalam hal ini posisi orang tua sangat penting, orang tua seharusnya membantu anak mencari bakat dan minatnya, bukanlah memaksanya untuk belajar hal yg menyulitkannya. Bukan berarti yang lainnya tidak penting, tapi hal yg lain dimengerti aja tidak perlu sampai harus sehebat apa, lebih fokus terhadap kelebihan kita
Saya sangat setuju dengan artikel di atas, tidak bisa pelajaran bukan berarti tidak bisa semuanya, bukan berarti bodoh. Setiap anak pasti memiliki bakat tersendiri dan berpotensi dibidangnya masing-masing, hanya saja kami memerlukan sarana dan bimbingan yang tepat. Selain semua itu, dukungan besar dari orang tua dan guru yang berperan besar dalam pertumbuhan sangat diperlukan.
Setelah membaca artikel di atas, saya mempunyai pendapat yang sama juga bahwa tidak semua orang dilahirkan dan ditakdirkan untuk bisa menguasai semuanya. Seperti contohnya, jika seorang anak mempunyai bakat menyanyi atau menggambar, tidak seluruh anak-anak mempunyai bakat yang sama. Mungkin saja mereka lebih ahli dalam bidang memasak atau olahraga. Jadi, tidak semua orang dilahirkan untuk memiliki bakat yang sama.
Setelah membaca artikel menurut saya seperti yang dibilang oleh teman saya bahwa semua anak yang dilahirkan nggak harus mempunyai talent mau itu bakat yang sama,masing masing mereka pasti memiliki bakat contoh nya anak b bisa ngomong bahasa asing dan anak c bisa memasak disitu bisa liat bahwa bakat mereka berbeda meskipun hebat dalam suatu bidang tetapi mereka juga butuh dukungan orang tua atau terdekat untuk meningkat lagi bakat mereka.